Breaking News

Senin, 29 Desember 2014

Kisah Korban Tsunami Dikira Meninggal, Ternyata Pulang ke Rumah

Ada beragam kisah dibalik tragedi gempa dan tsunami yang terjadi 10 tahun silam di Aceh. Sampai kisah di luar prediksi sampai ditemukan kisah mistis.

Kini ada sebuah kisah seorang anggota keluarga yang dikira sudah tewas diterjang tsunami. Akan tetapi ternyata masih selamat dan kembali ke rumah setelah 5 hari tsunami.

Kisah ini bermula, Minggu pagi, 26 Desember 2004, tepatnya 10 tahun silam. Seorang pemuda yang masih menimba ilmu di Univertitas Syiah Kuala (Unsyiah) jurusan Perguruan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Darussalam, Banda Aceh.

Sebelum tsunami sudah berada di Pulau Aceh untuk menyelesaikan kuliah kerja nyata, sebagai salah satu syarat bisa menyelesaikan studinya.

Pulau Aceh adalah sebuah pulau terpencil dan terluar di Aceh dan bahkan di Indonesia. Kala itu, pulau ini tergolong daerah tertinggal. Wilayah administrasi masuk dalam Kabupaten Aceh Besar, Pulau Aceh, merupakan sebuah kecamatan.

Menempuh perjalanan ke sana, harus terlebih dahulu menumpang perahu nelayan yang sengaja disulap menjadi perahu penumpang dengan jarak tempuh sekitar 2,5 jam jalur laut.

Namun, keluarga pemuda ini mulanya berpikir dia meninggal ketika tsunami melanda. Sebab Banda Aceh sudah tenggelam dan bangunan rata dengan tanah. Mereka berpikir, pulau Aceh juga mengalami nasib sama.

Tentu dalam pikiran keluarga pemuda ini, saudara kandungnya ini sudah tiada. Konon lagi, setelah 5 hari pasca-tsunami, pihak keluarga belum mendapatkan kabar keberadaan pemuda tersebut.

Tak pelak, semua keluarga besarnya panik, resah dan risau. Pupus semua harapan tatkala melihat langsung kondisi Kota Banda Aceh saat itu. Dalam pikiran mereka, mustahil pemuda ini bisa selamat dengan kondisi Banda Aceh rata dengan tanah.

Rasa kecewa terpencarkan dari raut wajah keluarga pemuda ini. Miris hati mereka mengenang saudara kandungnya ini pergi dengan cara tragis. Tangisan pun pecah, ibu dan ayah pemuda ini yang sudah lansia lantas langsung bermuram durja.

Air matanya menetes di pipinya. Menangis, sedih dan ingin rasanya bertemu meskipun hanya jasad yang telah terbujur kaku. Ingin rasanya orang tua pemuda ini memandikan si buah hatinya dan menguburkan di desa tempat tinggal mereka.

Namun, saudara kandung pemuda ini, Wirjaini masih saja tetap memberikan harapan kepada kedua orangtuanya dan meyakinkan bahwa adiknya masih hidup. "Saya sangat yakin adik saya selamat, meskipun tidak, saya ingin mencari jenazahnya," kata Wirjaini.

Wirzaini Usman, PNS yang bekerja di Pemerintah Kota Banda Aceh menuturkan kisah yang mengharukan itu pada merdeka.com, Kamis (25/12).

"Yang belum jumpa hanya adik saya Hamdani, saat itu orang tua saya yang sudah tua semakin pesimis, seakan-akan Hamdani tidak selamat, sedangkan saya dan adik perempuan hari kedua sudah jumpa," kata Wirzaini,

Hari ke-3 tsunami, tepatnya pada hari Rabu, dia bersama ayahnya kembali berangkat ke Banda Aceh untuk mencari Hamdani yang belum mendapat kabar apakah selamat atau tidak dalam pencarian dua hari sebelumnya.

Mereka hari itu masih optimis Hamdani selamat, lalu ia mencari dari posko pengungsi dari Lambaro dan juga di sejumlah lokasi pengungsian lainnya. Akan tetapi tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan Hamdani.

"Saat itu kami sudah semakin pasrah, apa lagi setelah mendengar cerita salah seorang petugas PMI, Desa Lampunyang, Pulau Aceh terbelah dua, kecil orang bisa selamat di situ," imbuhnya.

Saat itulah, kisah Wirzaini, ayahnya semakin syok dan nyaris jatuh saat mendengar informasi tersebut. Sebab Desa Lampunyang itu lokasi KKN Hamdani di Pulau Aceh.

Karena melihat kondisi ayahnya tidak memungkinkan, Wirzaini memutuskan untuk kembali ke Sigli. "Kami takut ayah semakin syok, karena ayah ada sakit jantung, makanya kami pulang dulu," ujarnya.

Pada hari Kamis, tepatnya hari kelima setelah tsunami, Wirzaini bersama kakak kandungnya kembali ke Banda Aceh untuk mencari Hamdani. Namun tiba-tiba saat hendak berangkat menggunakan sepeda motor, dia dipanggil oleh ayahnya sambil tertatih-tatih mendekati mereka.

"Nak, ini kantong mayat, tolong kamu cari yang mirip dengan Hamdani, kamu bawa pulang ke sini," kata Wirzaini meniru pesan Ayahnya saat hendak berangkat ke Banda Aceh mencari Hamdani.

Tak terasa isak tangis kedua orang tuanya tidak terbendung, demikian juga sejumlah sanak keluarganya yang berkumpul di rumah sudah pasrah. Mereka hanya berharap bisa melihat mayat Hamdani, keluarga besar tidak lagi menaruh harapan Hamdani bisa selamat.

Sesampai ke Banda Aceh, dia mencari ke seluruh tumpukan mayat dan juga lokasi pusat pengungsian korban tsunami. Tujuannya hanya satu, mau membawa pulang Hamdani meskipun mayat yang dia dapatkan. Hal ini sesuai dengan permintaan kedua orang tuanya.

"Jadi waktu itu saya dan abang, mau pinjam perahu nelayan mau ke Pulau Aceh untuk cari Hamdani," ungkapnya.

Namun, tiba-tiba ada sekelompok anak muda yang menggunakan jas almamater PGSD. Lantas terbesit dalam pikirannya untuk mempertanyakan keberadaan Hamdani.

Tanpa menunggu waktu lama, Wirjaini bergegas menghampiri mahasiswa tersebut dan menanyakan keberadaan adiknya dengan memberitahukan ciri-ciri Hamdani.

"Jadi langsung mereka bilang, ada di Desa Go Gajah, karena sedang menghantar sekitar 6.000 korban tsunami dari Pulai Aceh," kisah Wirzaini.

Saat itulah, Wirzaini merasa lega dan senang. Kendati demikian, dia belum puas hatinya, karena Wirjaini harus bisa memastikan wujudnya secara langsung. Karena teringat akan pesan orang tuanya, dia diamanahkan untuk membawa pulang Hamdani hidup ataupun sudah meninggal.

"Waktu jumpa langsung saya minta dia pulang, karena keluarga dan ayah dan ibu menunggu," ungkap Wirzaini.

Kini Hamdani sudah menjadi PNS di Pemerintah Kabupaten Pidie. Saat ini mengajar di Sekolah Dasar (SD) di Lamlo, Kecamatan Sakti. Selain itu, Hamdani memiliki usaha kerepuk jengek di Beureunuen.

Namun satu hal keluarga ini resah, sampai saat ini Hamdani belum mendapatkan pasangan hidupnya. Soal penghasilan, Hamdani tergolong sudah matang, sudah siap untuk berkeluarga.

"Kami kesal sekarang Hamdani belum menikah, jadi dia sekarang sedang mencari pasangan hidupnya," kelakar Wirzaini.
Read more ...

Minggu, 26 Agustus 2012

Konsep Kepemimpinan Ala Bung Hatta


Adakah pemimpin yang merakyat saat ini? Ah, jangan bicara soal pemimpin. Banyak orang bilang, bangsa Indonesia saat ini sedang krisis pemimpin. Tidak ada pemimpin saat ini yang benar-benar merakyat. Sudah begitu, kehidupan para pemimpin sangat berjarak dengan rakyat.

Ini berakibat buruk: tak ada pemimpin yang sanggup menjadi teladan. Kepercayaan terhadap tokoh politik makin menipis. Jajak pendapat menyebutkan, hampir 48% rakyat Indonesia tak lagi percaya pada pemimpin politik. Dan, pada gilirannya, situasi ini mengarah pada krisis politik.

Nah, jika menilik lembar demi lembar sejarah bangsa kita, maka tak sedikit para pendiri bangsa sudah merumuskan soal kepemimpinan (leadership) ini. Salah satunya adalah Mohammad Hatta atau lebih egaliter dipanggil Bung Hatta.

Bagi Bung Hatta, kewajiban utama seorang pemimpin adalah membaca perasaan rakyat dan memberikan jalan kepada perasaan itu. Seorang pemimpin harus bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Juga mengetahui persoalan yang masih terpendam.

Pada mulanya, kata Bung Hatta, rakyat tak tahu bergerak, sekalipun menanggung penindasan yang keji. Penyebabnya, langkah mereka masih terikat oleh pengetahuan mereka yang masih terbelakang. Paling-paling mereka berfikir pendek: bagaimana supaya tetap bisa makan sehari-hari.

Akibatnya, banyak diantara kaum tertindas itu menyerah pada “apa boleh buat”. Solusi di hadapan mereka cuma satu: pasrah pada keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Situasinya makin parah di bawah rezim otoriter. Bayangkan, rakyat tak punya ruang sama sekali untuk bersuara.

Namun, meskipun demikian, Bung Hatta menyadari bahwa rakyat yang bodoh sekalipun masih punya kemauan dan tujuan. Rakyat yang pasif pun sebetulnya masih punya harapan dan cita-cita.

Nah, di situlah tugas pemimpin. Kata Bung Hatta, seorang pemimpin harus bisa membaca perasaan rakyat, menggerakkan massa yang sulit bergerak sendiri, dan menyuluhi jalan pembebasan rakyat yang masih gelap. Pendek kata, pemimpin harus mengemudikan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Bung Hatta menjelaskan, sebelum pemimpin pergerakan muncul, yang menjadi penyelemat rakyat adalah kaum terpelajar. Mereka merasa iba dengan nasib massa-rakyat. Dari situlah kaum terpelajar, seperti juga dalam sejarah Bangsa Indonesia, menjadi pemula dan penyuluh lahirnya pergerakan rakyat.

Dalam sejarah Indonesia, kaum terpelajar yang terlibat dalam membangkitkan rakyat inilah cikal bakal pemimpin bangsa Indonesia. Sebut saja diantara mereka: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan lain-lain.

Nah, kaum terpelajar pula yang membuka mata rakyat. Kalau mata rakyat sudah terbuka, tugas selanjutnya adalah mengubah individuale actie menjadi massa actie (aksi orang banyak yang tersusun dalam satu badan). Di situlah muncul organisasi sebagai pengikat massa. Di situ pula muncul psikologi kolektif alias “kemauan bersama”.

Di sinilah pemimpin muncul: mengemudikan kemauan bersama massa-rakyat. Kata Bung Hatta, pada saat tertentu kemauan bersama disuarakan dengan jelas, diantaranya, seperti kongres, rapat umum, dan rapat. Tetapi, terkadang pula kemauan harus disuarakan oleh seorang pemimpin. Nah, di situlah tugas pemimpin: menjadi jurubahasa perasaan dan kemauan rakyat.

Organisasi juga mencerminkan kemauan bersama. Oleh karena itu, langkah seorang pemimpin organisasi dikoridori oleh prinsip, azas, dan program organisasi. Kalau ia melanggar, maka sang pemimpin akan diadili oleh anggota organisasinya. Rakyat banyak juga akan memberi penilaian. Untuk itu, seorang pemimpin tak boleh membelakangi atau meninggalkan kemauan rakyat.

Ulfa Ilyas, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber : www.berdikarionline.com
Read more ...

Minggu, 10 Juni 2012

Jalan Berliku Menciptakan Keindahan Perjalanan Cinta

Sumber Foto Google
Aku tidak bisa menulis dengan kata-kata indah layaknya seorang santrawan yang bisa merajut kata merangkai kalimat. Aku manusia biasa yang hanya bisa menulis sesuka hatiku. Apa yang tersimpan dalam hatiku hanya bisa aku tumpahkan dengan menulis ambruradul tanpa beraturan. 

Disisi lain, aku ingin jadi diriku sendiri, bukan menjadi orang lain.

Kamu minta aku harus variatif, aku telah berbuat semaksimal apa yang ada pada diriku. Aku memang sadar bukanlah seorang laki-laki yang romantis, juga bukan seorang laki-laki yang selalu bisa menghibur dengan kata-kata gombal.

Aku buka tipekal laki-laki demikian, karena aku lebih senang bicara apa adanya. Aku tidak suka dengan kata-kata bualan, aku lebih senang bicara apa realitas yang ada.

Kau tuntut aku harus variatif, aku telah lakukan itu, ingatkah bahwa aku setiap hari berusaha bisa mengimbangi ketidak dewasaanmu? Aku terus berusaha pelan-pelan membimbingmu untuk berpikir dewasa. Dengan sabar aku terus peras otak untuk mencari jalan keluar.

Aku sendiri bingung ketika ada tuntutan aku harus berbeda. Padahal selama ini aku memang terus berusaha mencari sesuatu yang berbeda. Namun pertanyaannya sekarang, Apakah itu bukannya tugas bersama kita? Tidakkah kita bisa sama-sama berpikir untuk mencari sesuatu yang berbeda? Apakah itu hanya menjadi tugas diriku sendiri?

Entahlah, akan tetapi aku akan terus berusaha untuk mencari sesuatu yang berbeda. Namun, aku juga seorang manusia yang memiliki sejumlah kekurangan. Aku juga seorang manusia yang memiliki perasaan yang sama, juga membutuhkan sesuatu yang berbeda dari dirimu. Aku juga ingin memberikan yang terbaik untuk hubungan ini.

Aku tau, ini awal langkah yang dipenuhi kerikil, saat inilah kita dituntut untuk bisa melalui dengan tanpa mengeluh. Jalan berliku-liku ini menjadi ujian perjalan panjang yang harus ditempuh menuju tujuan armada cinta yang abadi.

Jalan berliku-liku itulah yang akan menciptakan keindahan perjalanan. Kadang kala harus peras pikiran untuk melalui terjalnya tantangan yang membentang dihadapan. Tingginya dakian yang harus ditempuh mesti dilewati dengan lapang dada. Semua itu harus dilewati demi cita-cita mulai yang abadi dan kekal selamanya.

Perjalanan panjang tatanan kehidapan sosial bukan berarti itu muncul masalah. Masalah itu pasti ada, tetapi setiap ada persoalan yang terpenting adalah jangan pernah lari dari masalah. Setiap masalah harus diselesaikan untuk kemaslahatan dan kebaikan suatu hubungan.

Bersembunyi dibalik Kontradiksi merupakan sebuah tindakan yang salah. Setiap kontradiksi pasti ada material yang membuat itu terjadi. Dan juga ada material untuk bisa diselesaikan setiap kontradiksi yang ada.

Sekarang aku akan tunggu sampai dirimu menghubungiku seperti permintaan. Aku akan penuhi itu semua. Aku akan tunggu janjimu untuk menghubungiku saat moodnya membaik. Meskipun aku berharap segera mungkin moodnya membaik. Supaya kita bisa merajut kembali jalin cinta kita yang sekarang sedang mendapatkan cobaan.

Aku tidak akan pernah menyerah, aku akan terus berusaha membawa hubungan ini kekal selamanya sampai hayat menjemput kita. Aku ingin dirimulah yang menjadi pendamping hidupku selamanya.
Read more ...

Senin, 21 Mei 2012

Tragedi Tak Terberitakan di Gunung Beungga


Afifuddin Acal  | The Globe Journal
Pasukan TNI Sedang Istirahat, Sumber Google.com
Banda Aceh-Ini sepenggal cerita yang terjadi di Aceh sebelum Darurat Militer diterapkan. Ada banyak tragedi lain yang tidak terungkap ke publik sampai sekarang. Tulisan ini  dipersembahan untuk mengingatkan kembali tragedi masa lalu, agar pada masa mendatang tidak kembali terjadi dengan kejadian yang serupa.
Apa lagi Sabtu, 19 Mei 2012 merupakan momentum bersejarah yang tak boleh dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanggal yang membuat Aceh terpuruk kedalam lembah konflik yang sangat dahsyat, yaitu 19 Mei 2003. Jadi, sekedar mengingatkan pada seluruh lapisan masyarakat, terutama para pelaku sejarah yang sekarang sudah menikmati kursi kekuasaan. Tanggal tersebut merupakan masuknya fase Darurat Militer di Aceh dan kemudian berakhir damai setelah Aceh di landa Gempa serta disapu gelombang Tsunami.
Tsunami yang menjadi katalisator untuk mempercepat perdamaian akhirnya terwujud setelah ditandantangani perjanjian damai di Helsinki 15 Agustus 2006 yang kemudian lahirlah UUPA Nomor 11 tahun 2006 yang merupakan regulasi pelaksanaan Pemerintahan Aceh.
Harus diingat ada banyak tuntutan dan janji-janji yang belum terealisasi saat ini. Janji-janji itu mungkin sedikit kembali hadir diingatan melalui tulisan ini. Ada banyak syuhada yang telah mendahului kita dimasa lampau dalam memperjuangkan kesetaraan Aceh yang saat itu di diskriminasikan oleh Jakarta.
Buah perdamaian yang dinikmati rakyat Aceh sekarang merupakan tetesan darah para pendahulu kita yang telah pergi terlebih dahulu. Nyawa mereka harus dihargai saat ini dengan mengingatkan kembali jasa-jasa mereka. Jasa-jasa para Syuhada tersebut harus dipertanggungjawabkan kedalam mensejahterakan rakyat Aceh pasca MoU Helsinki.
Ada kisah yang terjadi dalam sebuah gunung di Desa Beungga Kecamatan Tangse., Pidie Kisah ini mengingatkan betapa tragis dan pahit getirnya para syuhada yang telah merelakan nyawa melayang demi Aceh.
Cerita berawal dari sebuah desa yang sangat subur dan memiliki suhu udara yang sejuk, rata-rata mencapai 20-22Celcius. Tanah yang subur serta memiliki hamparan sawah yang luas serta memiliki cita rasa beras yang khas, yaitu lebih dengan dengan beras tangse.  
Penduduk setempat berpenghasilan dari berkebun dan bertani lainnya, seperti kopi jenis robusta, kakao, pinang dan ada sejumlah hasil hutan lainnya. Tak ketinggalan juga sangat dikenal dengan Durian Beungga yang memiliki rasa yang khas. Meskipun buah jenis ini berbuah musiman, namun menjadi sumber pendapatan warga setiap musim panen tiba.
Kemungkiman Beungga menjadi tenar kala itu saat terjadi sebuah tragedi berdarah yang tak tersiarkan. Dusun Meunasah Krueng Beungga yang juga masih dalam desa Beungga menjadi saksi bisu sebuah tragedi berdarah. Di Meunasah Dusun itulah disemanyamkan sementara para korban penembakan pada pagi hari sekitar pukul 6.00 wib.
Setalah itu semua korban dikebumikan pada sebuah tempat pemakaman umum yang ada di desa Beungga Kecamatan Tangse kabupaten Pidie. Disanalah semua syuhada itu beristirahat untuk selamanya setelah memberikan nyawanya untuk perjuangan.
Perjalanan panjang bergerilya gerilyawan GAM kala itu dihebohkan dengan pemberondongan di sebuah tempat istirahat pasukan GAM tersebut. Bukit Krueng Gajah Pijuet nama tempat kejadian itu yang memakan korban 3 orang. Satu diantaranya adalah salah seorang korban pembantaian di Cot Panglima yang selamat yaitu Idris warga Alue Calong Mukim Beungga Kecamatan Tangse.
Menurut penuturan Jafar yang akrap disapa oleh masyarakat setempat dengan sebutan Sifan atau Bang Fan mengatakan, tragedi tersebut berawal seluruh pasukan pada tahun 2001 itu sedang istirahat dalam sebuah gunung yang telah dipersiapkan oleh pasukan GAM. Namun, musibah datang di suatu pagi setelah subuh, mulanya seluruh pasukan sudah bangun untuk shalat subuh, tetapi setelah menunaikan kewajiban semua pasukan kembali ketempat istirahat masing-masing untuk mempersiapkan fisik esok hari harus kembali mencari tampat lain yang lebih aman untuk mengatur strategi kembali.
Secara tiba-tiba terdengarlah rentetan suara senjata “sipai” (sebutan untuk TNI saat itu) di pagi buta itu. Sedangkan pasukan semua sedang dalam kondisi istirahat, sehingga tidak siap dengan adanya penyerangan secara tiba-tiba. Kocar kacirlah seluruh pasukan untuk menyelamatkan diri. Sialnya 3 orang harus merenggang nyawa diujung senjata pasukan TNI saat itu.
“Saya selamat atas pertolongan Allah SWT”, ujar Jafar.
Pasalnya, ia selamat dari tragedi tersebut dil uar kemampuan nalarnya. Bahkan tuturnya, salah seorang korban yang telah ditembak tersebut dibakar bersamaan dengan “rangkang”. Sedangkan 2 orang lagi tewas di tempat akibat hantaman peluru tajam TNI.
Kembali ia menjelaskan, hanya 3 meter dari pasukan TNI tempat ia bersembunyi, namun mereka tidak bisa menglihatnya. Inilah yang ia maksud dengan pertolongan Allah. Ia bersembunyi di balik-balik semak belukar yang ada dalam hutan tersebut. Sedangkan tumitnya luka akibat dari terkena serpihan peluru, darah bercereran tanpa henti, namun ia tetap tak diketahui oleh pasukan TNI. Ia hanya berdoa dalam hati saat itu, semoga mukjizat datang supaya ia diberi keselamatan demi menyambung perjuangan.
“Lon ku meushom lam uret”, ketusnya.
Memang tidak ada yang menyangka tanggal 25 Desember 2001 di pagi buta terjadi tragedi yang memakan korban rekan-rekan seperjuangannya. Katakanlan  Idris yang selamat dari pembantaian di Cot Panglima, namun naas di Gunung Krueng Gajah Pijuet, ia tewas bersama 2 rekannya lagi yaitu Ariadi dan Ihksan Zainal.
Pagi-pagi seluruh warga Dusun Krueng Beungga menjadi panik, penulis juga hadir ikut menyaksikan membantu menurunkan korban dari gunung. Kondisi mayat Idris sangat mengganaskan, orangnya yang tinggi, tetapi hanya tinggal 1 meter akibat hangus terbakar bersama rangkang. Sedangkan 2 lainnya luka tembak di sekujur tubuhnya, tak bisa dielak darah segar masih melekat saat mayat dikafankan.
Isak tangis warga tidak bisa terhindarkan, apa lagi keluarga korban semua berhamburan ingin menglihat korban penembakan. Tak pelak, keluarga korban pun larut dengan tangisan yang membara.
Tragedi ini menurut Jafar, ada orang-orang tertentu yang tidak senang dengan perjuangan yang membocorkan keberadaannya di hutan. Sehingga TNI saat itu mengetahui sasarannya dan terjadilah pemberondongan yang tidak sempat dibalas oleh pihak gerilyawan akibat semua sedang tertidur lelap.
“Kami gak sempat membalas pemberondongan itu, karena kami sedang istirahat”, ujar Jafar.
Menurutnya juga total orangnya saat itu sebanyak 15 orang, 3 orang tewas, 1 orang cedera di tumit yaitu dirinya yang selamat disembunyikan oleh semak belukar dan 11 orang lainnya bisa selamat melarikan diri dari kepungan itu.
Ia sangat bersyukur bisa selamat dari kejadian tersebut, meskipun sedikit cedera dit umitnya yang sampai sekarang berbekas dan jalan pun pincang. Tetapi tak apalah, yang terpenting dirinya bisa selamat dan sampai sekarang masih diberi panjang umur.
Harapannya Aceh bisa bisa Aman dan terus maju dimasa yang akan datang yang sesuai dengan MoU Helsinki. Itu menjadi patokan semua rakyat Aceh untuk kembali menata Aceh yang lebih baik dimasa akan datang.
“Saya sangat berharap Aceh bisa terus aman, seperti cita-cita sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki”, jelasnya lagi.
Sekelumit kisah ini bukan maksud untuk kembali membuka luka lama yang telah berlalu, bukan juga maksud ingin memanas-manaskan suasana kembali dengan membuka tabir lama. Akan tetapi sejarah masa lalu harus dikenang dan diingat supaya dimasa yang akan datang tidak kembali terjadi. 
“Tragedi ini memang sebelum Darurat Militer”, tutur Jafar lagi.
Oleh karenanya ada banyak kisah lagi selama Darurat Militer diberlakukan di Aceh. kisah ini hanya ingin mengingatkan pada seluruh warga Aceh bahwa hari ini tanggal 19 Mei, merupakan awal terjadinya malapetaka konflik yang berkepanjangan. Tanggal 19 Mei 2003 merupakan tanggal penerapan Darurat Militer di Aceh.
Meskipun “Cut Nyak” (sebuatan Mega Wati) meneteskan air mata di Mesjid Raya Baiturrahman dalam pidatonya mengatakan, “Tdak akan saya biarkan setetes darah pun mengalir kembali di Aceh”, nyatanya setelah itu Aceh bukan mengalir darah, tetapi banjir darah.
Tragedi berdarah itu bermula kurir atau yang memegang radio komunikasi di Gampong ditangkap oleh TNI. Saat itu sangat terkenal dengan Pos Tentara Lampoh Coklat,disanalah ia mendekam sampai 15 hari dan kemudian dilepas kembali, meskipun sekujur tubuh remuk akibat dari hantaman tinju prajurit TNI.
Semoga derita dan kisah sedh pada masa lalu menjadi pelajaran untuk masa kini dan depan.  Jangan sekali-kali melupakan sejarah sebab sejarah sering berulang dalam versi lain dengan inti  persoalan yang sama.
Read more ...

Selasa, 15 Mei 2012

May Day Harus Menjadi Tonggak Perubahan


Afifuddin Acal | The Globe Journal
Senin, 30 April 2012 20:44 WIB

Buruh Demontrasi. Foto Google.com
Banda Aceh-Kondisi buruh sunggguh memprihatinkan dan mengalami tekanan dan penindasan yang luar biasa dimasa lalu dan sekarang. Ketertindasan itu bukan berarti sudah berakhir di era globalisasi, justru penindasan masih dialami. Buruh masih termarjinalkan baik dalam mendapatkan akses kesejahteraaan, maupun mendapatkan pelayanan hukum yang setara. Malah mereka terus dikuras dan diekploitasi demi kepentingan Pemilik Modal dan terus digilas atas kekejaman pelipatan gandaan modal Kapitalisme.

Kondisi ini masih saja terjadi dibanyak Negara, terutama Indonesia yang merupakan Negara Dunia ketiga. Terjadinya tarik ulur menyangkut dengan regulasi menunjukkan masalah buruh masih menjadi persoalan krusial yang harus diperjuangkan menuju perubahan yang lebih baik, khususnya di Indonesia. Karena Indonesia saat ini masih saja menjual harga upah murah pada investor dan juga sistem Outscourcing.

Momentum May Day merupakan kebangkitan hari Buruh Internasional jangan hanya menjadi ajang pesta serimonial belaka, turun aksi, orasi dan kembali kedalam pabrik tempat bekerja. Tetapi harus ada kesinambungan gerakan mendesak Pemerintah untuk memperlakukan buruh yang setara dengan pemilik modal.

“Perayaan May Day kalau hanya serimonial belaka tidak mempunyai arti sama sekali, kalau tidak diikuti sebuah tindakan yang nyata untuk terus mengingatkan Pemerintah serta memperjuangkan nasib buruh sendiri. Serta mendorong Pemerintah untuk mengaplikasikan sistem hukum Indonesia yang pro-terhadap buruh. Artinya momentum May Day harus menjadi tonggak perubahan nasib buruh yang lebih baik dimasa yang akan datang, bila tidak, perayaan May Day tersebut tidak ada arti sama sekali”, tegas Heribertus Jaka Triyana Dosen Fakultas Hukum Internasional UGM melalui telephon Senin (30/4).
Pasalnya, sebelum terjadi protes besar-besar pada tanggal 1 Mei 1886, buruh dipaksa bekerja 15 jam sehari tanpa mendapatkan upah layak, buruh dianggap hewan peliharaan yang bisa dipekerjakan seenaknya oleh pemilik Industri.

May Day yang kemudian dikenal istilahnya, dimana tragedi yang sangat bersejarah tersebut terjadi di AS dan juga di Haymarket Chichago. Lebih dari 350.000 buruh turun ke jalan untuk memprotes kebijakan jam kerja yang diberlakukan 15 jam, dan menuntut diberlakukannya 8 jam kerja sehari. Meskipun tuntutan ini harus dibayar mahal dengan banyaknya korban di pihak buruh dan dijebloskan kedalam penjara.

Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh Internasional tersebut. Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC, pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma.(wikipedia)

Namun pada saat Orba berkuasa May Day diharamkan oleh Pemerintah, dan buruh pun tidak bisa menggunakan momentum tersebut sebagai hari buruh Internasional di Indonesia. Pasalnya Pemerintah beranggapan May Day tersebut erat kaitannya dengan Komunisme dan juga G30S. Padahal May Day tersebut telah dirayakan oleh seluruh Negara tak terkecuali Negara yang anti-Komunisme.

Kondisi buruh dibanyak Negara masih sangat memprihatinkan, terutama regulasi yang masih menghambakan pada Kapitalisme yang sering sekali regulasi buruh dipengaruhi oleh Pemilik Modal. Sedangkan buruh terus diekploitasi tenaganya untuk kepentingan melipatkan gandangan keuntungan yang besar para Kapitalis itu sendiri. Contohnya ada intervensi pemilik modal adalah dengan diberlakukannya sistem Outscourcing pada buruh yang jelas-jelas sangat menguntungkan pemilik modal.

Hal ini akan menyebabkan penderitaan bagi kaum buruh baik migran maupun buruh lainnya. Alih-alih bicara kesejahteraan, justru mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan tetap memperlemah pihak buruh itu sendiri untuk mendapatkan akses keadilan. Baik keadilan dalam mendapatkan kesejahteraan, akses pendidikan, kesehatan dan sandang papan lainnya.

Menglihat fenomena ini, Aryos Nivada Mahasiswa Pasca Sarjana UGM ikut angkat bicara menyikapi kondisi buruh yang carut marut selama ini. May Day yang terkesan serimonial belaka selama ini harus dirubah polanya untuk memperjuangkan tepat pada akarnya. Masalahnya terletak di hubungan industrial yang dihadapi buruh saat ini bersumber dari sejumlah produk hukum.

Lanjutnya lagi, ada hal yang lebih krusial harus diperhatikan dalam semangat hari Buruh tersebut. Seluruh stakeholder, terutama Pemerintah harus memperhatikan sejauh mana regulasi yang tidak merugikan buruh, terutama buruh migran yang kerap mendapatkan diskriminasi saat bekerja.

“Secara umum buruh di Indonesia saat ini sudah membaik, indikatornya Pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO yang merupakan inti standar perubahan. Namun pada tataran empiriknya memang masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terutama pada level pengusaha kecil dan menengah”, tegas Restu Rahmawati Dosen Universitas Hubungan Internasional di Universitas Majalengka Jawa Barat dan Juga Mahasiswa Politik Pasca Sarjana UGM .

Menurut data yang dihimpun theglobejournal, buruh kerap mendapatkan diskriminasi khususnya buruh migran. Apa lagi buruh migran didominasi oleh perempuan yang dikirim keluar Negeri untuk dipekerjakan baik sebagai buruh Industri maupun pembantu rumah tangga.

Hal ini berdasarkan laporan dari LBH Buruh Migran IWORK laporan kasus dari Buruh Migran Indonesia (BMI) dan anggota keluarganya sebanyak 43 kasus, hilang kontak adalah kasus terbanyak yang sering ditangani, selain kasus penipuan pemberangkatan ke Korea sebanyak 13 korban, dan gagal berangkat ke Abu Dhabi sebanyak 31 orang. Dan satu kasus kematian BMI perempuan korban trafficking atas nama Sri Puji Astuti yang sejak kematiannya pada bulan Mei 2008 hingga kini belum diketahui keberadaan jenazahnya.(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)
Selanjutnya data berdasarkan Dirjen PPTKLN, Depnakertrans RI, 2001 persentase perkembangan jumlah buruh migran perempuan ditinjau dari periode 1975 (22%), 1987 (67%), 1998 (69,55%), 2000 (68,3%). Sedangkan Philipina pertumbuhan buruh migran, khusus perempuan berbanding tipis dengan Indonesia. Berdasarkan data dari Philippines Overseas Employment Agency, Department of Labour, 2001. Pada tahun 1975 (12%), 1987 (47%), 1998 (64%), 2000 (68,7%)..(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)

Kemudian, pada tahun 2008 LBH-BM IWORK mencatat 552 BMI meninggal dunia, paling banyak BMI di Malaysia sebanyak 481 orang, lalu BMI di kawasan timur tengah sebanyak 30 orang, Hongkong, Korea dan Taiwan sebanyak 10 orang, dan 5 BMI di Singapura. Angka ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Untuk di Malaysia dari analisis data yang IWORK lakukan, mayoritas penyebab kematian BMI adalah buruknya kondisi dan keamanan lingkungan kerja. .(Artikel Buruh Migran Dan Kebijakannya, "Studi Komparatif Indonesia dan Philipina”, Aryos)

Hal ini semakin menunjukkan bahwa perkembangan buruh di Indonesia berkembang pesat dari tahun-ketahun, khususnya buruh migran yang didominasi perempuan. Oleh sebab itu Pemerintah sudah sepatutnya benar-benar memperhatikan menyangkut dengan kesejahteraan dan keselamatan mereka dalam bekerja. Karena mayoritas korban akibat lemahnya sosial kontrol dari Pemerintah dan lemahnya regulasi perlindungan buruh, sehingga banyak terjadi masalah sampai pada tindak kekerasan dialami oleh buruh Indonesia.

Ada banyak persoalan yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia. Krisis multidemensi membuat semua kebijakan masih saja belum maksimal melindungi para pekerja. Hal ini juga akibat Pemerintah masih sangat tunduk pada kondisi pasar dan liberalisme, sehingga terjadi pemiskinan buruh secara masal. Apa lagi akhir-akhir ini dengan sebuah kebijakan berencana mencabut subsidi BBM, akibatnya bahan pokok meningkat drastic, namun Pemerintah tidak mengimbangi dengan tingkat produktifitas buruh.

Restu, kembali menjelaskan saat theglobejournal mewawancara via facebook, hal ini dikarenakan strategi kebijakan pemerintah masih menerapkan politik upah murah, menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel, dan desentralisasi sehingga hal tersebut berpotensi memiskinkan buruh.

Terkait buruh migran ungkapnya lagi, Pemerintah harus terus berupaya melakukan pemantauan ke level bawah, terutama pada level pengusaha kecil dan menengah. Selain itu menghimbau Pemerintah untuk meningkatkan sistem, guna mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Dan kepada pengusaha baik itu level kecil, menengah, maupun besar harus menerapkan dan memperlakukan prinsip keadilan kepada seluruh buruh.

Hal ini semakin memperjelas bahwa, buruknya pelayanan dan keselamatan buruh akibat dari regulasi yang tidak pro-buruh. Regulasi masih tetap saja tunduk patuh pada sistem pasar. Indonesia diakui atau tidak, sudah menganut sistem Neoliberalisme dimana semakin sedikit Negara mencampuri kebijakan pada pasar, tetapi ekonomi itu dilepas bebas dipasar, sehingga yang kuat modal akan menguasai pasar dan yang lemah modal akan terguras oleh keserakahan Pasar Bebas tersebut. Pemerintah tidak sedikitpun melakukan proteksi pasar yang seharusnya melindungi ekonomi dalam Negeri supaya jangan dibiarkan bertarung bebas. Tentunya kondisi ini yang sangat diuntungkan adalah pemilik modal yang kuat.

Lihat saja intervensi regulasi yang sangas tampak nyata saat pembahasan RAPBN-Perubahan yang berencana mencabut subsidi BBM. Hal ini jelas-jelas bahwa Negara sedang mempraktekkan sistem pasar Bebas, dimana BBM didalam Negara akan diserahkan pada mekansisme pasar. Bila BBM dalam negeri terus disubsidi, maka Pertamax dan Petronas yang harganya lebih mahal akan ditinggalkan oleh konsumen dan semua akan beralih pada BBM yang bersubsidi. Disinilah ada korelasi bahwa praktek tersebut merupakan ada intervensi pasar.

Contoh lain lagi, Indonesia tidak meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) harus diakui lebih banyak berkutat pada aspek pengaturan penempatan buruh migran secara administratif semata", pungkas Aryos.

Sehingga lanjut Aryos lagi, dampak dari UU perburuhan di Indonesia yang tidak pro kepada buruh semakin melemahkan standar kesejahteraan hidup para buruh. Ketika kebijakan Pemerintah Indonesia menaikkan harga kebutuhan dasar seperti sembako dan BMM. Tidak selaras dengan kebijakan menaikkan upah buruh, hal ini semakin mengencangkan "ikat pinggang"-nya karena upah yang mereka terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan pokok.

Merujuk dari semakin meningkatnya persoalan pada buruh, sudah sepantasnya Pemerintah dan berbagai stakeholder lainnya untuk lebih fokus dan prioritas menyelesaikan segala problematika itu. Saatnya sekarang buruh harus ditempatkan pada posisi layak dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif.

“Pemerintah harus transparan dan terukur dalam membuat kebijakan yang tentunya harus berpihak pada buruh. Baik itu kebijakan dalam produk hukum, kebijakan buruh secara nasional dan juga harus ada program-program yang jelas untuk meningkatkan kualitas maupun kesejateraan buruh dimasa yang akan datang”, tegas Heribertus.

Heribertus, menambahkan, Pemerintah juga harus mampu menerjemahkan setiap kebijakan yang bermuara pada kepentingan buruh kedalam Undang-undang. Jangan sampai terjadi overleping kebijakan yang akan sangat merugikan para buruh itu sendiri. Intinya, momentum May Day harus dipergunakan oleh buruh dan Pemerintah untuk memperbaiki baik regulasi maupun menyangkut hal lainnya. Jangan hanya sebatas serimonial belaka, karena tidak berimplikasi langsung pada kebijakan untuk merubah nasib buruh.

Tenaga Kerja Hal Penting Maju Mundurnya Negara

Tenaga kerja merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu bangsa, dimana maju mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan pada tenaga kerja itu sendiri. Oleh karenanya sudah saatnya buruh mendapatkan perlindungan hukum yang harus Pemerintah prioritaskan, karena mereka merupakan tulang punggung Bangsa dalam memutarkan roda ekonomi. Bila kaum pekerja macet, tentunya seluruh roda ekonomi akan macet dan akan berakibat fatal sebuah Negara. Karena akan terhenti produksi sedangkan permintaan barang terus meningkat dipasar. Jadi buruh tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Pemerintah, jangan hanya mementingkan kepentingan Pemilik Modal diatas kepentingan buruh.

Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan lapangan kerja masih jauh dari yang diharapkan, jelas Aryos, apalagi dengan adanya permasalahan pemerintah lainnya mengakibatkan konsentrasi pengembangan lapangan kerja bukan menjadi skala prioritas. Wal hasil tidak memberikan efek penurunan angka pengiriman tenaga kerja atau buruh migran ke luar Negeri. Jika keadaan seperti ini dibiarkan lebih lama, berdampak kepada ketidakseimbangan dalam masyarakat menjadi sedemikian parah.

Di Indonesia saat ini ada 120 juta orang buruh (lokal-migran) yang didominasi oleh kaum perempuan sebesar 65%. Jadi kembali perempuan yang masih dianggap kelas kedua mengalami penderitaan akibat dari kebijakan Pemerintah yang tidak pro-buruh.

Jadi, bila pada May Day jutaan buruh turun kejalan menuntut hak-haknya tidak bisa disalahkan. Karena mereka memang sedang mengalami degradasi kepercayaan pada wakilnya di Legeslatif bisa memperjuangkan aspirasinya. Akibat itu, buruh turun ke jalan sebagai wadah penyampaian aspirasinya yang dilindungi oleh Undang-undang sebagai alternatif penyampaian aspirasinya.

Tak pelak gerakan ini kadang kala membuat Pemerintah gerah dan pusing menghadapi arus masa gerakan buruh. Membuat gerah Pemerintah itu bukan tidak beralasan. Pemerintah beranggapan bila terjadi aksi buruh besar-besaran akan berakibat terganggunya iklim investasi didalam Negeri. Investor akan membatalkan melakukan investasi bila situasi keamanan tidak terkendali, dan buruh terus menerus malakukan demontrasi.
Akibatnya, Pemerintah mencoba mancari jalan pintas untuk meredam demontrasi dengan melakukan tindakan refresif. Peserta aksi ditangkap, bahkan dipukul serta diperlakukan seperti musuh. Tak jarang demontrans ditembak baik dengan peluru karet maupun kadang kala juga ada peluru tajam. Meskipun sering kali pihak keamanan selalu berkilah saat adanya peluru tajam tersebut.

Padahal bila lebih kritis menglihat pokok persoalannya, itu semua terletak pada Pemerintah sendiri yang menciptakan iklim tidak setara antara pekerja dengan pemilik modal. Dimana sering sekali buruh mendapatkan perlakuan diskriminatif, regulasi pun kerap kali lebih menguntungkan pemilik modal. Kalau pun buruh melakukan anarkisme dan gangguan keamanan, itu tidak semuanya salah buruh. Bila hal itu tidak ingin terjadi, maka Pemerintah harus memenuhi kebutuhan yang layak bagi buruh. Berapa besar gangguan keamanan saat buruh tidak bisa mendapatkan akses keadilan, baik memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan juga kebutuhan dasar lainnya.

Kalau demikian adanya, siapa yang patut disalahkan? Salahkah buruh turun kejalan menuntut haknya? Sedangkan dalam UUD 1945 mengamanahkan pada Negara untuk melindungi rakyatnya dan Negara diperintahkan untuk menciptakan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonsesia".

Hal ini seperti dijelaskan Oleh Restu Dosen Universitas Majalengka Jawa Barat. Dengan adanya diskriminasi, lalu tidak berlakunya kode etik perburuhan Internasional (ETI) di Indonesia, maka tidak salah ketika para buruh melakukan pergerakan untuk memperjuangkan aspirasi mereka kepada Pemerintah. Dan apabila terjadi diskriminasi, para buruh diharapkan segera melapor. Supaya ditindak lanjuti, jangan sampai karena meraka takut dipecat akhirnya cuma diam saja. Jadi lebih baik melaporkan demi perbaikan regulasi perburuhan kedepannya.

Persoalan buruh di Indonesia ternyata masih sangat jauh dari harapan yang sesuai dengan amanah konstitusi. Diskriminasi diberbagai hal masih tetap saja dialami oleh buruh lokal maupun migran. Oleh karena perlu adanya sebuah terobosan yang tepat dilakukan oleh Pemerintah menjawab problematika yang sangat sistemik ini.

Sudah saatnya harus mengoptimalkan pembuatan aturan yang berpihak pada buruh dan implementasinya harus benar-benar dilaksanakan oleh Negara. Selanjutnya juga Pemerintah harus meningkatkan kapasitas para Buruh, supaya memiliki nilai tawar ditempat buruh bekerja. Yang paling utama adalah sejauh mana Eksekutif dan Legeslatif memiliki perspektif yang sama dalam menglihat persoalan buruh saat ini.
Hal ini seperti penegasan yang disampaikan oleh Dosen UGM Heribertus, “harapannya Pemerintah harus mampu menyatukan perspektif antara Eksekutif dan Legeslatif”.

Heribertus, lanjutnya, Baik itu Legeslatif yang membuat peraturan maupun Eksekutif yang mengeksekusi kebijakan harus memiliki satu pemahaman dalam memandang untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di Indonesia. Demikian juga buruh harus bersatu padu terus mengingatkan Pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang adil pada buruh dimasa yang akan datang.

Disisi lain, Pemerintah harus tegas menindak setiap Perusahaan atau Negara yang memarjinalkan buruh. Negara harus berani bersikap menindak sesuai prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Dan juga harus memperkuat koordinasi dengan instasi terkait seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri.

Menurut informasi yang theglobejournal dapatkan dari beberapa sumber, hari ini selasa (1/5) Serikat federasi buruh dan beberapa organisasi buruh yang ada di Jabodetabek akan menurunkan lebih dari 100 ribu buruh ke jalan untuk menuntut hak-haknya. Dan aksi masa ini sudah sambut oleh pihak kepolisian dengan mengerahkan 2/3 kekuatan yang ada di Jabodetabek, artinya sebanyak 11686 personil polisi akan disiagakan saat demontrasi berlangsung, seperti disampaikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Saud Usman di wawancara TV One Senin malam.

Semoga dengan momentum hari yang sangat bersejarah ini bisa menggerakkan kebijakan Pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib buruh saat ini masih jauh dari harapan kesejahteraan. Jangan sampai rakyat Indonesia kedepan “menjadi budak di Negeri sendiri” dan jangan menjadi “perantau ditanah air sendiri”. Harapan demi harapan itu akan tabu bila buruh tidak terorganisir dengan rapi dalam membangun gerakan.

Read more ...

Sabtu, 21 April 2012

Selamat Tinggal Calon Independen

Afifuddin Acal | The Globe Journal

Banda Aceh - Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) telah usai dilaksanakan tanpa ada gangguan yang berarti. Bila pun ada terjadi kerusuhan tidak membuat Aceh terjebak kembali dalam lingkaran kerusuhan.

Kerusuhan di Gayo Lues misalnya terjadi pembakaran kantor Camat, kantor KIP dan kenderaan dinas camat, tidak membuat situasi keamanan dan politik Aceh terganggu. Terlihat masih terkontrol dan masih mampu dikendalikan oleh pihak Kepolisian.

Masyarakat justru dikagetkan oleh gempa yang dahsyat membuat masyarakat berhamburan keluar rumah mencari daerah yang jauh dari pantai dan tinggi, bebas dari reruntuhan apapun. Bahkan membuat seluruh rakyat Aceh kalang kabut ingin menyelamatkan diri akibat alarm peringatan dini tsunami berbunyi.

Akankah pertanda baik, atau pertanda buruk menjelang Aceh memiliki pemimpin baru? Bahkan dari salah satu status dalam facebook mengatakan ini pertanda tidak baik karena gempa pada hari Rabu.

Tetapi sekarang tidak sedang membicarakan ekses dan mitos dari gempa tersebut. Ada hal yang lebih menarik dibicarakan menyangkut dengan calon perseorangan yang lesu. Hasil sementara yang muncul calon dari perseorangan mengalami kemunduran yang besar dalam meraih simpati rakyat.

Dari hasil yang dihimpun oleh The Globe Journal hampir semua daerah dimenangkan oleh calon yang diusung oleh partai politik, baik itu partai lokal maupun nasional. Terutama calon yang diusung oleh Partai Aceh yang merupakan partainya mantan kombatan mengalami peningkatan drastis mendapatkan kemenangan.

Lihat saja fenomena di Banda Aceh yang memiliki pemilih rasional. Penduduk Banda Aceh rata-rata memiliki pendidikan yang tinggi. Calon dari Independen tetap mengalami kekalahan. Justru yang meraih kemenangan adalah yang diusung oleh Partai Koalisi.

Demokrat, PPP, PAN, PKB dan Partai Sira yang mengusung Mawardi-Illiza mendapatkan suara terbanyak untuk sementara, kemudian disusul Aminullah – Muhibban yang diusung oleh Partai Golkar, PKS, PDA dan PBB
mendapatkan suara dua terbanyak di Kota Banda Aceh. Lagi-lagi suara terbanyak 1 dan 2 diraih oleh calon yang diusung oleh partai politik.

Walaupun menurut Koordinator Gerak Indonesia, Akhiruddin Mahyuddin mengatakan pada Serambi Kamis (12/4) Pemilukada di Banda Aceh mengalami cacat hukum. Hal ini disebabkan angka yang tidak memilih mencapai 40% lebih, sehingga Akhiruddin meminta untuk diulang kembali Pemilihan di Kota Banda Aceh.

Terlepas dari itu, pasangan Mawardi-Illiza meraup suara terbanyak untuk sementara. Artinya pasangan nomor urut 4 ini memenangkan kembali menjadi Wali Kota-Wakil Wali Kota banda Aceh. “Melanjutkan Pembangunan”, seperti slogan yang selalu dikampanyekan kembali terwujud untuk membuktikan karya-karyanya 5 tahun kedepan.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kekalahan calon perseorangan itu akibat masyarakat merasa belum percaya pada kekuatan individualistik. Artinya, Independen tidak memiliki mesin politik, atau kekuatan politik? Sehingga masyarakat ragu dengan kesiapan dan kemampuan calon yang memakai jalur perseorangan? Atau ada kesengajaan digiring untuk dikalahkan seluruh calon yang maju melalui jalur independen, supaya menjadi justifikasi bahwa calon perseorangan tidak sehat dalam demokrasi karena tidak mendapatkan tempat dihati rakyat.

Menurut Fachri Ali, pengamat politik yang tinggal di Jakarta mengungkapkan saat diwawancarai oleh TV One Pekan lalu, “Partai Aceh itu mempunyai alat untuk mengorganisir melakukan pemenangan, artinya mereka terkomandoi. Sedangkan Irwandi tidak memiliki alat, sehingga massanya cair, makanya Irwandi itu butuh alat ke depan bila mau eksis berpolitik, sehingga bisa menyeimbangi”.

Hal ini memang terbukti dengan kemenangan yang diraih oleh Partai Aceh. Lihat saja, pasangan dengan singkatan Zikir ini mampu mencuri hati rakyat untuk memilihnya dengan angka yang fantastis yaitu mencapai 54,53% menurut data Quick Count Citra Publik Indonesia (CPI) - Lingkaran Survei Indonesia Group (LSI).
Sedangkan Irwandi hanya mendapatkan suara sementara 29,76% dari seluruh Aceh dari hasil CPI-LSI tersebut. Namun ini masih hasil sementara yang didapatkan dari hasil perhitungan cepat, tetapi perhitungan cepat ini menurut pengakuan CPI-LSI margin of error +/- 1%. Hasil finalnya tetap harus menunggu hasil perhitungan
manual dilakukan oleh KIP Aceh yang diumumkan pada tanggal 18 April 2012 nanti.

Fachri Ali juga menjelaskan kembali menyangkut Irwandi mengalami kekalahan. Irwandi ungkapnya, sudah bekerja maksimal selama memerintah di Provinsi Aceh. Lihat saja keberhasilan JKA yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Demikian juga dengan program-program yang lainnya. Justru Fachri mengklaim tidak ada rakyat yang marah sama Irwandi. Kekalahan Irwandi karena Zaini Abdullah yang merupakan keponakan Tgk Muhammad Hasan Tiro mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah kali ini. Hasan Tiro yang merupakan deklarator Gerakan Aceh Merdeka(GAM) masih sangat berpangaruh ditengah-tengah masyarakat Aceh.

Bagaimana dengan kemunduran calon perseorangan dalam meraih kemenangan disetiap ajang pesta demokrasi baik di Aceh maupun seluruh Indonesia?

Padahal tahun 2006 hampir seluruh Aceh dimenangkan oleh calon perseorangan dalam pemilihan Kepala Daerah. Apakah ada upaya sistematis dari Partai Politik untuk melemahkan calon perseorangan supaya jalur ini ditiadakan. Akan menjadi pembenaran nantinya untuk menghilangkan jalur tersebut? Atau juga ada upaya secara sistematis campur tangan politik dari tingkat elit di Jakarta untuk memperjelas posisi bahwa calon perseorangan itu tidak diterima oleh rakyat, sehingga lebih mudah para elit Partai Politik nantinya untuk membatalkan calon perseorangan?

Simak saja seperti penuturan salah seorang mantan Calon Bupati Kabupaten Bener Meriah yang mencalonkan melalui Jalur Perseorangan Sri Wahyuni, SH.I, “Calon Independen tidak ada yang menang dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Aceh merupakan permainan elit Partai Politik untuk menghapus adanya calon perseorangan di Aceh maupun di Indonesia secara umum”.

Lanjutnya lagi, “Sengaja memang Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung di Aceh untuk menggagalkan seluruh calon perseorangan, dengan demikian semakin besar alasan bagi mereka untuk menyatakan bahwa calon perseorangan tidak diterima oleh rakyat dan akan semakin gampang menghilangkan calon perseorangan tersebut,” pungkas Sri Wahyuni di Banda Aceh Kamis (12/4).

Meskipun dalam pelaksanaan Pemilukada 9 April lalu Asian Network for Free Elections (ANFREL) Foundation, menilai masih adanya terjadi praktek intimidasi dan teror. ANFREL yang merupakan lembaga pemantau Internasional menemukan beberapa fakta kecurangan dalam Pemilukada yang dilakukan oleh Penyelenggara seperti masuk kedalam TPS tanpa diminta oleh yang bersangkutan.

Dengan gagalnya mayoritas calon independen memenangkan Pemilukada Aceh, tampaknya waktu untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Calon Independen" semakin dekat.
Read more ...

Menunggu Zaini-Muzakir Wujudkan Janji-janji Kampanye

Afifuddin Acal | The Globe Journal


Hasan Tiro, Tokoh Deklarator Gerakan Aceh Merdeka, Google.com

Banda Aceh-Tugas berat yang akan dihadapi oleh Parti Aceh (PA) dalam mengembankan amanah rakyat yang telah dijanjikan selama masa kampanye sudah saat untuk diwujudkan. Janji-janji yang telah disampaikan selama masa kampanye kepada masyarakat merupakan program yang sangat diinginkan oleh rakyat Aceh. Pasalnya, menurut hasil sementara pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf mendapatkan suara terbanyak.

Berbicara Aceh ingin dibuat layaknya Malaysia atau Singapore butuh waktu puluhan tahun. Belum lagi secara geografis maupun posisi kesiapan dari SDM dan infrastruktur dan fasilitas Aceh belum mendukung ke arah seperti dua negara tersebut. 

Ditambah lagi waktu lima tahun tidak akan rasional untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Oleh sebab itu PA harus mendesain program yang tersinergis dan mengarah pada visi dan misi, tentunya dengan tidak melupakan janji-janji manis pada saat kampanye.

Mulai dari janji memberikan Rp 1 juta per bulan dari dana hasil migas, pengangkatan honorer PNS, mendatangkan dokter dari luar negeri, menjadikan Aceh layaknya Singapura dan Malaysia, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat aceh. keseluruhan janji politik Zaini dan Muzakir menjadi harapan besar bagi rakyat Aceh yang sedang kesusahan dan keterpurukan ekonomi.

“Bagi saya ini pertaruhan serius dari Partai Aceh, bila berhasil, maka PA tetap akan bertahan sampai puluhan tahun. Jika gagal, kekuatan politik PA akan menurun dan berkurang hingga menjadi partai kecil. Seleksi alam berdasarkan politik akan terjadi sejalan dengan pengalaman partai nasional lainnya”, pungkas Aryos Nivada Pengamat Politik dan Kemanan Aceh di Atjeh Kupi Sabtu (14/4) pukul 12.54 wib.

Lanjutnya lagi, Jika tidak direalisasikan besar peluang nilai prestise gubernur Aceh terpilih dari PA akan hilang dimata rakyat. Dampak lain akan berpengaruh kepada mendapatkan suara PA pada pemilu 2014 nantinya.

Janji-janji politiknya tidak akan bisa diwujudkan bila tidak terjadi sinkronisasi dan sinergenisasi antara semua pihak. Oleh karena itu dibutuhkan keharmonisan dalam mewujudkan seluruh janji-janji manis yang telah disampaikan pada masyarakat semasa kampanye. Bila tidak dilakukan akan menuai disharmonis hubungan pemimpin dengan rakyat Aceh.

“Ditinjau dari logika probabilitas sulit janji-janji PA bisa realisasikan. Otomatis Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf bersama Partai Aceh harus mencari cara agar bisa terwujud janji pada saat kampanye. Ada sebuah pesan moral, di mana pemimpin yang sejati jika mampu melaksanakan janji kepada rakyatnya”, ketus Aryos.

Katakan saja misalnya, ungkap Aryos, janji pemberian Rp 1 juta dari dana Migas setiap Kepala Keluarga (KK) mendapatkan bantuan setiap bulannya. Hitungan kasar, jumlah KK di Aceh sekitar 1,2 juta KK, maka dalam 1 tahun butuh dana Rp 13,2 triliun, sedangkan dana APBA Rp.9 triliun, dan itu pun untuk gaji pegawai dan lain-lain. Jadi, dengan demikian Zaini-Muzakir harus mencari formulasi lain untuk bisa mewujudkan janji manis tersebut, karena rakyat sangat menantikan hal demikian.

Demikian juga dalam hal kesehatan, di mana janjinya mendatangkan dokter dari luar negeri. Rumah Sakit di Aceh nanti akan ditempatkan dokter-dokter ahli yang dari luar Negeri. Hal ini akan menimbulkan konflik baru dikemudian hari di Aceh. Dokter lokal akan bereaksi atas kebijakan yang akan merugikan tenaga medis lokal.

Sebenarnya, dokter dalam negeri memiliki kualitas yang sama bila ada perhatian yang serius dari Pemerintah, baik untuk meningkatkan SDM maupun dalam hal melengkapi fasilitas medis lainnya.

“Bila hal ini dilakukan, akan menimbulkan konflik baru, dokter lokal pasti akan terjadi penolakan. Dokter lokal sebenarnya juga memiliki kualitas yang sama bila diberi kesempatan dan difasilitasi oleh Pemerintah dengan memberikan kesempatan untuk belajar dan memiliki fasilitas medis yang lengkap”, jelas Aryos.

Alangkah baiknya bila ingin menghadirkan tenaga medis yang kualitas dunia, bukan dengan memperkerjakan dokter impor didalam Negeri. Tetapi Pemerintah bisa membangun rumah sakit yang bertaraf internasional. Sehingga masyarakat bila ingin berobat yang memiliki kualitas seperti berobat di Singapura sudah dimiliki oleh Aceh, dengan catatan rakyat Aceh tetap masih bisa menikmati kesehatan yang gratis tanpa harus membayar yang mahal, walau itu rumah sakit bertaraf internasional. Pemerintah harus bisa menjamin dan mensubsidi supaya rakyat tetap bisa menikmatinya tanpa harus mengeluarkan uang sepersenpun.

“Bisa didatangkan dokter luar negeri dengan membangun Rumah Sakit di Sabang misalnya, sebuah pulau yang menyediakan kesehatan kelas dunia. Dampak positifnya rakyat Aceh tidak perlu jauh-jauh berobat sampai ke luar negeri cukup di Sabang saja, tetap dengan catatan harus gratis untuk rakyat Aceh”, jelas Mahasiswa Megister Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Yogja.

Menyangkut dengan janji mengangkat pegawai honorer menjadi PNS semuanya perlu dikaji ulang kembali. Selain itu Pemerintah dibawah Kepemimpinan Zaini-Muzakir harus benar-benar melakukan verifikasi yang ketat dan tanpa adanya KKN.

“Tenaga Honorer yang mau diangkat PNS perlu betul-betul diverifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai disiplin ilmu masing-masing. Yang terpenting harus bersih dari sikap KKN”, ketusnya.

Alangkah baiknya untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah harus bisa memikirkan untuk membuka lapangan kerja dibidang lainnya, maupun meningkatkan produktifitas pemberdayaan ekonomi micro rakyat. Bukan hanya mengandalkan pada ketersediaan lowongan kerja menjadi PNS. Karena tidak mungkin jutaan rakyat Aceh mampu menampung lapangan kerja hanya jadi PNS, tetapi harus ada membuka lapangan kerja dibidang lainnya dengan cara membangun industrialisasi untuk menjawab pengentasan pengangguran dan kemiskinan.

“Pemerintah harus mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat untuk melahirkan tenaga kerja selain PNS”, pungkas Aryos diakhir perbincangan. [003]
Read more ...

Minggu, 01 Januari 2012

Punk Juga Manusia

Penangkapan anak punk yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh berkerjasama dengan pihak Poltabes Banda Aceh telah menyisakan berbagai macam keprihatinan. Penangkapan yang terkesan illegal tersebut telah mencabut hak – hak kebebasan berekpresi sebagai warga Negara Aksi kepriahatinan terus mengalir baik didalam negeri maupun luar negeri. Seperti diberitakan The Globe Journal sekelompok anak punk Rusia mendatangi kantor KBRI melakukan aksi solidaritas penangkapan 65 anak punk Banda Aceh dengan mencoret-coret pagar dengan tulisan “punk is not crime”. Walaupun sangat kita sayangkan di Aceh sendiri tidak muncul aksi yang serupa dari kalangan mahasiswa yang anti rasis, fasis dan anti diskriminasi kaum marjinal. Aceh kenapa bisa bisu dari aksi keprihatinan tersebut. Apakah aceh sudah menjadi daerah Neo-Fasisme, semoga tidak. Hanya 3 orang yang mengaku mahasiswa FISIP Unsyiah menggelar aksi di Simpang Lima seperti di beritakan oleh The Globe Journal. Mereka mengkritisi pemerintah tidak melindungi hak orang untuk berserikat. Punk lahir sebenarnya adalah akibat kegagalan para politisi dalam “politik jual – beli”, meyakinkan sebuah kontra kultur akan ide bahwa kita semua akan jauh lebih baik hidup baik hidup tanpa vampir-vampir ini. “Semua pemerintahan tidaklah diinginkan dan tidak perlu, tidak ada pelayanan yang dapat disediakan pemerintahan yang tidak dapat disediakan oleh suatu komunitas secara swadaya. Kita tidak perlu disuruh - suruh melakukan sesuatu atau diberitahu bagaimana menghidupi hidup kita apalagi dibebani oleh pajak, aturan, regulasi - regulasi serta tuntutan - tuntutan akan hasil kerja kita” (Profane Existence(PE) #5,Agustus 1990 hal 38,Ayf) Dari sisi lain punk juga terlibat dalam gerakan – gerakan perubahan mendukung hak-hak perempuan tidak dimarginalkan, kelas pekerja dan juga sangat bermusuhan dengan kapitalisme yang telah menghisap melalui praktek monopoli ekonomi. Gerakan punk biasanya lahir dari Rahim Negara-negara komprador dan Negara demokrasi palsu kapitalisme. Eksploitasi ditempat-tempat kerja juga merupakan hasil kekejaman dan kerakusan yang ditampilkan oleh kapitalisme itu sendiri. Bahkan sistem ini juga telah melahirkan sebagian orang hidup mewah dari hasil kerja para pekerja yang tidak memiliki kemewahan. Atas dasar inilah muncul perlawan punk untuk melawan dominasi kapitalisme. Mereka membangun kelompok sendiri sebagai bentuk perlawanan terampas hak – hak mereka akibat dari kesarakahan pemilik modal. Jadi, punk bukanlah segerombolan penjahat yang harus ditumpaskan oleh rezim. Penangkapan punk ditaman budaya sebuah tindakan melawan hukum dan ilegal, karena mereka sejauh ini tidak melanggar hukum dan tidak terlibat kekerasan. Kalaupun ada diantara mereka yang melanggar tindak pidana atau terlibat narkoba, maka tangkaplah yang terlibat saja, bukan semua ditangkap. Bukan punk nya yang salah, tetapi beberapa oknum dari mereka yang melanggar aturan Negara. Ini sama halnya juga bila ada oknum kepolisian terlibat tindak pidana, apakah seluruh polisi harus ditangkap dan institusi polisi disalahkan? Tentu jawabannya tidak, tetapi oknum itu yang harus ditindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Saya sangat miris saat membaca komentar-komentar difacebook dan komentar pembaca diberita online. Hampir semua komentar bernuansa fasis dan diskriminatif terhadap anak Punk. Yang sangat membuat hati saya bertambah pilu saat mengetahui komentator tersebut adalah mahasiswa yang notabena memiliki wawasan dan kecerdasan lebih dari yang lainnya. Tidak pantas mengeluarkan kata-kata yang nuansa rasis dan fasis, padahal mahasiswa itu adalah kelompok masyarakat yang intelektual dan cerdas. Komentar – komentar tersebut tidak sedikitpun mencerminkan watak intelektual yang katanya selalu berpihak kepada kaum marginal, malah terkesan berwatak fasis dan imoral. Apakah mahasiswa aceh pasca datangnya liberalisasi politik dan ekonomi telah degradasi sikap sosial? Tidak peka lagi dengan kondisi sosial warga yang marginal yang dilanggar hak-haknya? Semoga apa yang saya baca difacebook dan komentar-komentar diberita online hanya mengatas namakan mahasiswa aceh, artinya mereka itu bukan mahasiswa tetapi orang yang mencoba memperburuk citra mahasiswa. Oleh sebab itu saya sangat mendambakan lahirnya generasi Bangsa (mahasiswa) yang kritis dan peka terhadap situasi sosial yang sedang terjadi. Mahasiswa yang merupakan panutan masyarakat perlu menampilkan dan memberikan pendidikan-pendidikan yang baik kepada rakyat, supaya Aceh jangan terjebak dengan lingkaran syetan fasisme. Perlu diketahui oleh semua kalangan, anak Punk itu bukanlah penjahat yang harus diperlakukan secara tidak manusiawi. Dalih pembinaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tetapi nyatanya mereka diperlakukan tidak lebih seperti binatang yang sedang dijinakkan. Bicara pembinaan mental dan psikologi bukan dengan cara kekerasan seperti direndam kedalam kolam atau kekerasan fisik lainnya. Disekap di Sekolah Polisi Negara (SPN) bukanlah solusi untuk pembinaan mereka. Justru akan mengganggu mental mereka kearah lebih buruk dengan diperlakukan demikian sampai harus digunduli segala. Mereka juga manusia yang butuh diperlakukan layaknya orang yang tidak bersalah dan sama dimata hukum. Punk juga butuh setara dimata hukum tanpa ada yang mencabut hak-hak mereka. Melakukan pembinaan bukan dengan cara kekerasan, namun harus melalui pendekatan persuasif dan secara psikologis. Sentuhan-sentuhan kelembutan yang seharusnya dilakukan, bukan malah pembinaan ala militer dan jangan salahkan mereka nantinya bila kelakuan mereka akan kasar, karena memang dibina dengan pola kekerasan. Hemat saya mereka tidak melakukan penyimpangan prilaku seperti ungkapan Kapolda pada acara Funbike di Seutui tanggal 11 Desember 2011. Tidak ada prilaku yang menyimpang dari mereka, oleh sebab itu menilai orang jangan terjebak dengan simbul, jangan karena pakaian yang lusuh, rambut jingkrak atau celana koyak-koyak langsung menvonis seseorang itu penjahat, tentu jawabannya tidak. Pelajari dan teliti apa yang mereka perjuangkan dan siapa mereka, baru setelah itu mengambil kesimpulan. Kalaupun dipermasalahkan prilaku menyimpang dinilai pada cara mereka berpakaian yang bukan tradisi orang Aceh atau bahkan orang Indonesia. Pertanyaan saya kembali muncul, kenapa yang berpakaian berjubah serba putih yang memakai celana diatas tumit sering bergerombolan antara satu masjid kemesjid lain tidak ditangkap. Cara berpakaian demikian juga bukan merupakan pakaian tradisi orang Aceh. Kenapa mereka tidak ditangkap, lalu dibina seperti pembinaan anak punk tersebut. Maaf, bukan saya berniat rasis menulis tulisan ini, tetapi hanya sebagai perbandingan kenapa hanya pada anak punk diberlakukan demikian. Apakah kerana mereka orang minoritas didalam minoritas pantas diberlakukan sewenang-wenang. Tentu, jawabannya tidak. Tetapi kembali muncul pertanyaan, kenapa juga bisa terjadi, atau mungkin kita Negara barbar, entahlah. Kalaupun harus mendapatkan pembinaan, bukan diperlakukan seperti penjahat kelas kakap, disekap kedalam penjara walau sebantar dan pembinaan yang tidak layak disebut pembinaan tetapi “penyiksaan”. Pelaku tindak pidana korupsi saja tidak diperlakukan seperti itu, padahal prilaku meraka telah menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Sebenarnya, merekalah yang pantas mendapatkan perlakuan seperti menerpa anak punk. Pembinaan seperti dialami oleh anak punk alangkah tepatnya diberlakukan pada koruptor yang telah menyengsarakan seluruh Rakyat Indonesia. Yang sangat miris lagi saat penegak hukum mengatakan penangkapan, penggundulan rambut dan direndam kedalam kolam tidak melanggar HAM. Hal ini seperti pernyataan Kapolresta banda Aceh, Armensyah Thai pada The Globe Journal. Sungguh sebuah pernyataan mengecewakan kita semua dalam membacanya, apakah beliau tidak membaca kitab Undang-Undang bagaimana yang disebut dengan melanggar HAM seseoarang? Saran saya sebagai warga Negara, pelajari dan baca kembali kitab Undang-undang tersebut dan kalaupun belum bisa memahami jangan malu-malu mendatangi ahlinya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Jelas-jelas mafia anggaran, mafia pajak dan pejabat yang korup merupakan musuh Negara yang harus dibasmi seperti hama tikus dalam sawah. Namun sekarang mereka masih tetap saja diperlakukan secara manusiawi. Bahkan ada yang mendapatkan fasilitas special dalam bui, sungguh ironis. Padahal justru mereka (para koruptor) telah melanggar HAM seluruh rakyat Indonesia masih saja bisa menikmati hasil pajak rakyat dengan mudah dan masih saja bisa berkeliaran di Negara tercinta kita. Kalaupun ada yang di proses semua pelaku koruptor kelas teri, sedangkan kelas kakap masih belum tersentuh. Kenapa anak Bangsa yang hanya mengekpresikan jiwa seni mereka dan tidak sedikitpun mengganggu ketertiban umum harus diperlakukan ibarat penjahat kelas kakap. Adilkah mereka mendapatkan perlakuan demikian? Saya bertambah kaget dan sedih ketika mendengar cerita seorang teman yang berangkat ke Banda Aceh dari Bireun. Beliau mengisahkan bagaimana pengejaran anak punk yang melarikan diri dari tempat “penyiksaan”. Pengejaran layaknya sedang mengejar segerombolan penjahat yang melarikan diri. Karena pihak kepolisian di sare saat melakukan pengejaran memakai senjata lengkap, tidak tanggung-tanggung senjata yang dipakai adalah senjata laras panjang. Wallauhu’alam. Mendengar cerita itu saya kembali teringat saat Densus 88 mengejar teroris di Aceh maupun luar Aceh. suasana demikian juga ada saat aceh masih dalam konflik bersenjata, pihak TNI sedang mengejar GAM yang dicap sebagai pemberontak. Bedanya hanya tidak dikerahkan mobil tank atau senjata berat. Pertanyaan sekarang, apakah Anak Punk tersebut teroris atau pemberontak yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau mereka penjahat kelas kakap seperti borun para koruptor? Entahlah, Negara kita memang sudah menjadi Negara entah berantah……!!!!!!!! *** Pernah dimuat di The Globe Journal "www.globejournal.com"
Read more ...
Designed By VungTauZ.Com