Breaking News

Selasa, 31 Mei 2011

Soal Pilkada, Pansus III DPRA Temui KPU

Serambi Indonesia.
*Raqan Masih Mengambang

JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) III DPRA yang menangani Raqan Pilkada, Senin (30/5) kemarin bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU, Jalan Diponegoro, Jakarta. Delegasi pansus itu dipimpin Ketua Pansus III, Tgk Adnan Beuransyah. Sedangkan dari KPU hadir Endang Sulastri dan Saut Sirait didampingi sejumlah kepala biro.

Dalam pertemuan itu, Adnan Beuransyah cs menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah melanggar Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), karena memaksakan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2011 tanpa berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Padahal, Pasal 66 UUPA dengan tegas menyatakan, pelaksanaan pilkada harus berdasarkan qanun (perda).

“Kami benar-benar tidak mengerti, Pansus III sedang bekerja membahas Raqan Pilkada. Tapi tiba-tiba KIP Aceh telah menetapkan tahapan pilkada tanpa melakukan konsultasi dengan kami. Ketika kami tanya, mereka menyatakan atas perintah KPU,” tukas Adnan.

Anggota Pansus III, Ir Jufri Hasanuddin mempertanyakan aturan apa yang digunakan KPU dan KIP dalam menetapkan tahapan pilkada di Aceh, tapa melapor kepada DPRA. “Dalam UUPA sudah diatur dengan jelas soal tahapan pelaksanaan pilkada. Tapi, kenapa tidak dipatuhi? Saya minta KPU dan KIP jangan menciptakan konflik baru di Aceh,” gugat Jufri yang juga Ketua Komisi D DPRA.

Gugatan serupa diutarakan delegasi pansus lainnya, Erli Hasyim dari PBB, Muslim Ayub dari PAN, Ermiadi, Tgk Nasruddinsyah, Abdullah Saleh, dan Fauzi SH. “Kami sedang membahas qanun. Ada 49 pasal di UUPA yang mengatur tentang KIP. Nah, hal-hal yang belum diatur dalam UUPA diatur dalam qanun. Begitu aturannya. Tapi, ini sudah dilangkahi semua,” sindir Abdullah Saleh.

Muslim Ayub mengatakan, sama sekali tidak ada aturan yang bisa digunakan bahwa Pilkada Aceh bisa dilaksanakan tanpa keikutsertaan DPRA. “Pertanggungjawaban anggaran dilaporkan ke DPRA. Panitia pengawas direkrut dan diusulkan oleh DPRA. Bagaimana mungkin pilkada Aceh tanpa DPRA? Ini pertanyaan saya,” ujar Muslim Ayub yang juga Wakil Ketua Pansus III.

Anggota KPU Endang Sulastri yang memimpin pertemuan berjanji akan membawa butir-butir pemikiran Pansus III DPRA itu ke dalam Rapat Pleno KPU. “Pada prinsipnya semua kita ingin pelaksanaan pilkada di Aceh berjalan dengan baik,” kata Endang Sulastri.

Saut Sirait menambahkan bahwa KPU adalah lembaga yang negara yang dibentuk untuk menyelenggarakan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. “Kami bukan bagian dari pemerintah pusat. Soal putusan MK soal calon independen, itu urusannya MK. Kami hanya menyelenggarakan pemilukada,” kata Saut Sirait yang masuk KPU menggantikan Andi Nurpati yang menjadi anggota Partai Demokrat.

Pertemuan yang berlangsung hampir tiga jam itu sempat diwarnai berbagai “interupsi” dari delegasi Pansus DPRA ketika berkali-kali Endang Sulastri merujuk kepada peraturan perundang-undangan di luar UUPA. “UUPA harus dilihat sebagai undang-undang khusus untuk Aceh. Jangan dilihat pasal-pasal yang menguntungkan saja. Pedomani itu dulu! Kalau tidak diatur dalam UUPA, baru merujuk ke undang-undang lain,” sergah Adnan Beuransyah.

Bertemu Komisi II
Delegasi Pansus III DPRA pada hari yang sama juga bertemu dengan Komisi II DPR RI. Pertemuan dipimpin Ketua Komisi II Chairuman Harahap. Komisi II diminta dukungannya agar pilkada Aceh tidak dipaksakan pelaksanannya. “Di tengah-tengah masyarakat ada dua kelompok yang saling bertentangan. Yang satu mendukung calon independen dan kelompok yang satu lagi menentang independen. Dan jumlah mereka jauh lebih banyak kami khawatir kalau keadaan dipaksakan akan terjadi konflik horizontal,” ujar Adnan Beuransyah, politisi Partai Aceh.

Menjawab keluhan delegasi Pansus, Chairuman Harahap mengatakan calon independen yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pilkada Aceh 2011 bukan kehendak DPR atau Pemerintah. “Itu keputusan MK,” ujar Chairuman.

Ia juga menegaskan bahwa DPR dan pemerintah sama sekali tidak ada niat melakukan perubahan atas UUPA. “Pemerintah juga tidak pernah mengajukan usulan perubahan UUPA. Yang ada adalah ada orang Aceh yang mengajukan judicial review kepada MK tentang calon independen dan kemudian permohonan itu dikabulkan MK,” sebut Chairuman, politisi dari Partai Golkar.

Raqan mengambang
Dari Banda Aceh dilaporkan, Pimpinan DPRA sampai kemarin belum bisa memastikan kapan penyusunan materi dan isi perubahan Raqan Pilkada pada tingkat Pansus III bisa diselesaikan, meski awalnya direncanakan selesai pada Juni 2011.

“Kalau dilihat dari masa kerjanya setelah perpanjangan waktu pembahasan bulan lalu, batas akhir pembahasan, penyusunan, dan penyelesaian materi perubahan Raqan Pilkada itu adalah pada 6 Juni 2011. Tapi sampai kini kalau ditanya kapan bisa diparipurnakan, kami belum bisa memastikannya,” ujar Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi SH kepada Serambi, Senin (30/5).

Terkait penyelesaian materi dan isi perubahan Raqan Pilkada itu, kata Amir Helmi, Ketua Pansus III DPRA, Adnan Beuransyah sudah melapor kepadanya. Adnan kembali menyatakan bahwa akan menyelesaikan penyusunan materi dari perubahan Raqan Pilkada itu paling lambat pertengahan Juni 2011. Kalau itu yang dilaporkannya, berarti masa kerjanya telah melampui masa kerja setelah perpanjangan bulan lalu sampai 6 Juni 2011.

Untuk sementara ini, kata Amir Helmi, Pimpinan DPRA masih memegang jadwal yang telah diperpanjang, yakni sampai 6 Juni 2011. Seandainya pada tanggal tersebut Pansus III belum juga melaporkan hasil kerjanya, maka pimpinan dewan akan membawa masalah ini ke Badan Musyawarah DPRA, untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi Pansus III untuk menyelesaikan pembahasan dan penyusunan materi perubahan Raqan Pilkada yang telah lama mengendap di pihak legislatif. Bahkan belum sekalipun dilakukan pembahasan materinya secara bersama-sama dengan pihak eksekutif yang mengusulkan perubahan raqan tersebut.

Baik Amir Helmi maupun Wakil Ketua II DPRA, Sulaiman Abda mengatakan, dari tujuh raqan yang masa kerjanya diperpanjang sampai 6 Juni 2011, baru dua raqan yang pembahasan dan penyusunan materinya telah selesai, yakni Raqan Retribusi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) dan Raqan Lingkungan Hidup.

Lima raqan lagi, di antaranya Raqan Pilkada, Wali Nanggroe, dan PT Pembangunan Investasi Aceh, sampai kini belum bisa diprediksi kapan bisa diparipurnakan untuk disahkan.

Staf Ahli Bidang Pemerintahan Setda Aceh, Muhammad Jafar yang juga mantan ketua KIP Aceh mengatakan, keterlambatan penyelesaian Raqan Pilkada bisa berdampak kurang baik bagi KIP selaku penyelenggara pemilihan 18 kepala daerah, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, yang masa kerjanya akan berakhir 8 Februari 2012.

Seharusnya, kata Jafar, begitu KIP memasuki tahapan persiapan pilkada, perubahan Raqan Pilkada yang diajukan Gubernur kepada DPRA tahun lalu sudah selesai dibahas, setelah pengesahan APBA 2011 pada Maret 2011. Sekarang ini sudah bulan Juni dan tahapan pilkada sudah dimulai KIP, tapi raqannya belum juga rampung dibahas.

“Kenapa sampai kini DPRA belum juga menyelesaikan penyusunan materi usulan perubahan Raqan Pilkada yang diajukan Gubernur tahun lalu kepada DPRA? Yang bisa menjawabkan adalah Pansus III dan Pimpinan DPRA. Kami pihak eksekutif siap menunggu undangan jadwal pembahasan bersamanya,” ujar mantan ketua KIP Aceh itu. (fik/her)
http://aceh.tribunnews.com/news/view/57568/soal-pilkada-pansus-iii-dpra-temui-kpu
Read more ...

Senin, 30 Mei 2011

25 Mantan Anggota DPRK Pidie belum Kembalikan Dana TKI

SeMon, May 30th 2011, 10:02
http://aceh.tribunnews.com/news/view/57425/25-mantan-anggota-dprk-pidie-belum-kembalikan-dana-tki

* Tunggakan Capai Rp 1,2 Miliar


SIGLI - Sebanyak 25 dari 45 mantan anggota DPRK Pidie periode 2004-2009, dilaporkan belum mengembalikan secara utuh dana Tunjangan Komunikasi Insentif (TKI) ke kas daerah. Malah empat orang di antaranya belum sepeser pun menyetor. Hingga kini tercatat jumlah tunggakan mencapai Rp 1,2 miliar.

“Dari 45 mantan anggota dan pimpinan DPRK lama, 20 orang sudah lunas. Kemudian 21 orang masih menyicil dan empat orang belum menyetor sepeser pun,” ujar Sekretaris DPRK (sekwan) Pidie, Zainal Abidin SH MSi kepada Serambi, Sabtu (28/5).

Besarnya dana TKI yang dikucurkan masa wakil rakyat itu menjabat adalah Rp 64 juta per orang. Sehingga total seluruhnya berjumlah sebesar Rp 2.891.700.000. Dengan demikian, hingga kini tercatat tunggakan belum dilunasi adalah Rp 1.199.630.000.

Selain dana TKI yang mencapai Rp 1.199.630.000, juga terdapat Biaya Operasional Pimpinan (BOP) dewan sebesar Rp 128.520.000 per pimpinan (untuk tiga orang). Dari jumlah tersebut dua orang pimpinan sudah lunas, sisanya satu orang pimpinan lagi sampai kemarin belum mengembalikan.

Padahal ini adalah salah satu pendapatan asli daerah yang harus dikembalikan. Malah, Bupati Pidie, Mirza Ismail meminta dibentuk tim supaya pengembalian dana TKI mantan anggota dewan ini segera disetor ke kas daerah. Konon lagi kondisi keuangan di Pidie cukup memprihatikan.

Sekwan Pidie, Zainal Abidin mengatakan, upaya menyurati para eks wakil rakyat tersebut terus dilakukan. “Kami sudah layangkan surat beberapa kali ke masing-masing anggota dewan yang belum mengembalikan dana TKI,” ujar Zainal mantan Sekretaris Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Pidie ini.

Persoalannya, sebut dia, dalam surat Mendagri No.21 tahun 202507 menyebutkan antara lain wajib mengembalikan dana TKI ke kas daerah. Kemudian lahir lagi surat terbaru Mendagri No : 555/3032/SJ, tentang pengembalian TKI dan proses hukum tidak berlaku jika dana belum dikembalikan.

“Sehingga dasar surat baru inilah pihak kami cuma dapat bertindak sebatas menyurati saja ke masing-masing mantan anggota dewan itu. Selebihnya aturan tidak membolehkan ditindak secara hukum,” tukasnya.

Pun begitu, sebut dia, dana TKI ini merupakan kewajiban mantan pimpinan dan anggota dewan supaya mengembalikan. “Ini sifatnya utang yang harus dilunasi, kita akan terus berupaya supaya dana ini bisa dikembalikan,” katanya.(aya)

Read more ...

Filsafat

I. PENGERTIAN FILSAFAT

1. ARTI FILSAFAT

Filsafat adalah pandangan tentang dunia dan alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat adalah suatu ilmu dan suatu metode berfikir untuk memecahkan problem-problem gejala alam dan masyarakat. Filsafat merupakan sikap hidup manusia dan sebagai pedoman untuk bertindak dalam menghadapi gejala-gejala alam dan masyarakat. Filsafat bukan suatu kepercayaan yang dogmatis dan membuta.

2. PENGENALAN FILSAFAT

Persoalan pokok dalam filsafat adalah Sejarah adanya pertentangan antara ide dan materi.
Orang yang mengatakan ide ada lebih dahulu ketimbang materi, maka dia sering di sebut idealis. Sedangkan yang mengatakan materi ada lebih dahulu, maka dia di sebut materialis. Namun antara keduanya tentu tidak dapat di pisah-pisahkan. Keduanya harus runtut dan berkaitan. Karena ide tanpa di materialkan maka akan sia – sia, begitu juga dengan materi, tanpa tau teorinya maka tidak akan jadi apa – apa. Namun kita harus paham manakah yang primer dan mana yang sekunder?

Adanya serikat buruh di tempat kita bekerja, tentunya bukan muncul secara kebetulan. Namun adanya serikat buruh di karenakan adanya persoalan bersama yang tidak bisa di selesaikan secara indifidu. Sehingga dari banyaknya persoalan yang di alami oleh buruh maka berkumpulah kita untuk membentuk kelompok diskusi. Dari kelompok diskusi kemudian terbentuklah serikat buruh. Itu menunjukan bahwa, munculnya serikat buruh bukan karena kebetulan dan juga ikut – ikutan. Lahirnya Serikat Buruh bukan karena semata-mata lahir dari ide, atau dalam kata lain “jangan kita berserikat tanpa tau tujuan dari serikat itu sendiri”. Dari pemaparan tersebut dapat di simpulkan bahwa, ketika kita punya persoalan bersama dan mau menuntut untuk memperbaikinya, maka kita meski bicara strategi. Memang jika kita bicara strategi, cukup banyak strategi yang bisa di pakai. Tetapi pasti ada tahapannya. Disinilah kemudian kita harus melilih dan menentukan strateginya. Pertanyaanya kemudian, apakah kita mau berjuang sendiri, atau secara bersama-sama? Kalau bersama tentu harus ada wadahnya, atau alatnya yaitu Serikat buruh. Berarti tahapan yang mungkin di lakukan adalah berdiskusi menuju pembentukan Serikat buruh. Ini hanya tahapan-tahapan atau tekhnis menetukan strategi, tanpa bermaksud menegasikan persoalan pokoknya. Upah layak harus di rebut, Cuti harus di jalankan, jamsostek dan tunjangamn yang lain juga harus kita dapatkan. Namun semua butuh stratergi yang matang.

Tuntutan buruh adalah tuntutan yang sangat realistis, karena semua itu muncul berdasarkan fakta bahwa, saat ini penghasilan yang di dapat oleh buruh sangat tidak mencukupi bagi keberlangsungan hidup para buruh. Adanya kebutuhan hidup yang tidak bisa di tunda. Kondisi ini tentunya bisa kita rasakan dan itu sebuah kenyataan, karena materialisme selalu bicara berdasarkan kenyataan yang ada dan bukan mengada-ngada.

3. PERSOALAN DAN KATEGORI FILSAFAT

Filsafat mempersoalkan masalah-masalah etika/moral, aestetika/seni, sosial/politik, epistimologi/tentang pengetahuan, ontologi/tentang manusia. Kategori persoalan filsafat meliputi soal-soal hubungan antara bentuk dan isi, sebab dan akibat, gejala dan hakekat, keharusan dan kebetulan, keumuman dan kekhususan.
Filsafat mempersoalkan soal-soal yang pokok. Sedang soal yang terpokok dari persoalan filsafat adalah soal hubungan antara ide dan materi, fikiran dan keadaan. Mana yang primer dan mana yang sekunder diantara keduanya itu, ide atau materi, fikiran atau keadaan. Jawaban dari persoalan yang terpokok tersebut akan membagi semua aliran filsafat menjadi dua kubu, kubu Filsafat Idealisme dan kubu Filsafat Materialisme.
Semua aliran filsafat yang memandang dan menyatakan ide atau fikiran sebagai hal yang primer, dan materi atau keadaan sebagai hal yang sekunder, termasuk dalam kubu filsafat idealisme. Sebaliknya, semua aliran filsafat yang memandang dan menyatakan materi atau keadaan sebagai hal yang primer, dan ide atau fikiran sebagai hal yang sekunder, termasuk dalam kubu filsafat materialisme.

4. ALIRAN DAN KUBU FILSAFAT

Filsafat mempunyai banyak sekali aliran. Tapi dari semua aliran yang banyak sekali itu bisa dibagi hanya dalam dua kubu, kubu filsafat idealisme dan kubu filsafat materialisme.
Aliran pokok filsafat adalah idealisme dan materialisme. Tapi disamping dua aliran pokok itu, terdapat aliran filsafat dualisme. Walau begitu, aliran filsafat dualisme pada hakekatnya juga termasuk aliran filsafat idealisme. Karena itu aliran filsafat dualisme juga termasuk kubu filsafat idealisme.
Filsafat dualisme pada hakekatnya juga filsafat idealisme karena pandangannya didasarkan pada ide yang mereka-reka. Filsafat dualisme yang memandang ide dan materi, fikiran dan keadaan, sebagai hal yang kedua-duanya primer. Tidak ada yang sekunder. Pandangan itu jelas tidak berdasarkan kenyataan. Itulah idealismenya filsafat dualisme.

5. WATAK DAN KELAS FILSAFAT

Filsafat selalu mencerminkan watak dan mewakili kepentingan klas tertentu. Karena itu filsafat selalu mempunyai dan merupakan watak dari suatu klas. Filsafat Idealisme mencerminkan watak dan mewakili kepentingan klas pemilik alat produksi yang menindas dan menghisap yaitu klas-klas tuan budak atau pemilik budak, klas tuan feaodal atau tuan tanah, klas borjuis atai kapitalis, dsb. Sebaliknya filsafat materialisme mencerminkan watak dan mewakili kepentingan klas bukan pemilik alat produksi yang tertindas dan terhisap yaitu klas buruh, dsb. Sedang filsafat dualisme mencerminkan watak dan mewakili kepentingan klas pemilik alat produksi tapi yang tertindas dan juga terhisap yaitu klas borjuis kecil.

6. PENTINGNYA BERFILSAFAT DAN CARA BELAJAR FILSAFAT

Berfilsafat itu penting. Dengan berfilsafat, orang akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam dan masyarakat. Kesadaran itu akan membuat sesorang tidak mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbul-tenggelamnya gejala-gejala yang dihadapi.
Untuk berfilsafat, orang harus belajar filsafat. Dan belajar filsafat harus dengan cara yang benar. Cara belajar filsafat ialah harus menangkap ajaran dan pengertiannya secara ilmu, lalu memadukan ajaran dan pengertian itu dengan praktek, selanjutnya mengambil pengalaman dari praktek itu, dan kemudian menyimpulkan praktek itu secara ilmu.

7. ARTI BERFILSAFAT

Berfilsafat berarti bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu dan metode berfikir terhadap gejala-gejala alam dan masyarakat yang dihadapi.
Berfilsafat bukan bersikap dan bertindak secara tradisi, menurut kebiasaan atau berdasarkan naluri turun-temurun dalam menghadapi dan memecahkan problem-problem gejala-gejala itu.

8. RANGKUMAN TENTANG FILSAFAT :

A. Filsafat adalah cara memandang sesuatu hubungan berdasarkan naluri/dunia (aspek hubungan dunia subyektif) dan dunia (aspek obyektif)
Jelaskan: Berfilsafat berarti menggali pokok persoalan yang muncul/yang ada di hadapan kita secara nyata, yang bisa kita lihat, kita rasakan, bisa kita raba, untuk kemudian mencari jalan keluarnya dengan mengambil langkah langkah yang benar berdasarkan kondisi obyektifnya.

B. Kegunaan filsafat adalah sebagai alat untuk mencari sesuatu yang ilmiah, yang bisa di terima secara akal sehat, berdasarkan pandangan obyektif. Jelaskan: Contoh: Mayoritas buruh ketika menghadapi persoalan yang ada/kasus maka buruh tidak akan lagi bisa berfikir secara jernih, misalkan ketika perusahaan memPHK dirinya dengan alasan Efisiensi, Bangkrut, atau Rugi. Kemudian tanpa di berikan haknya sesuai dengan aturan, maka karena cara pandang yang di pakai hanya sekilas dan mengikuti apa yang di sampaikan perusahaan, maka buruh dengan mudah menerima karena takut bila tidak di terima, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena kita dengan mudah percaya bahwa perusahaan bangkrut dan sudah nggak punya uang. Sehingga tanpa berfikir panjang dan mencari kebenaran apa yang terjadi, ia akan menerima. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pengusaha memPHK hanya ingin merubah status buruhnya yang semula tetap menjadi kontrak.

C. Perlunya kita berfilsafat adalah supaya kita mampu menilai sesuatu dan memahami sesuatu itu berdasarkan kebenaran yang hakiki.
Jelaskan: Orang yang berfilsafat maka dia sangat jeli dalam memilih dan menetukan sesuatu tindakan, karena berdasarkan pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan, kaya strategi dan ia bicara/bertindak berdasarkan bukti. Dengan begitu maka ia tidak akan mudah menyerah, karena pisau analisanya cukup tajam.

II. TENTANG FILSAFAT M.D.H.

1. Arti M.D.H.

M.D.H. adalah materialisme Dialektik dan Materialisme Histori. Materialisme Dialektik berarti pandangannya materialis dan metodenya dialektis. Sedang Materialisme Historis berarti Materialisme Dialektika yang diterapkan dalam gejala sosial atau masyarakat.

2. Lahirnya M.D.H dan Penciptanya

Filsafat M.D.H lahir sesudah lahirnya berbagai macam filsafat yang pandangannya materialis atau yang metodenya dialektis. Sedang penciptanya adalah Karl Marx.

Filsafat M.D.H. merupakan hasil kesimpulan dan ciptaan Karl Marx sesudah Karl Marx belajar dan mengambil dari kebenaran ajaran pandangan Filsafat Materialisme Faeuerbach dan metode filsafat dialektik Hegel. Karl mengambil isinya yang benar dari pandangan materialis filsafat Feuerbach dan membuang kulitnya yang salah dari metodenya yang metafisis. Selanjutnya Karl Marx mengambil isinya yang benar dari metode dialektis filsafat Hegel dan membuang kulitnya yang salah dari pandangannya yang idealis.
Karl Marx menerima kebenaran pandangan materialme filsafat Feuerbach, tapi menolak kesalahan metodenya yang metafisis. Juga Karl Marx menerima kebenaran metode dialektis filsafat Hegel, tapi menolak kesalahan pandangannya yang idealis.
Kesimpulan dari itu Karl Marx menciptakan Filsafat M.D.H dan lahirlah filsafat M.D.H. Karl Marx.

3. Ciri dan Watak Klas M.D.H.

Ciri-ciri filsafat M.D.H. ialah; Ilmiah, Objektif, Universal, Praktis, Lengkap dan Revolusioner.
Ilmiah, karena metodenya dialektis.
Objektif, karena pandangannya materialis.
Universal, karena ajarannya tidak hanya berlaku didalam alam, tapi juga berlaku didalam masyarakat.
Praktis, karena ajarannya dapat dibuktikan dan dilaksanakan.
Lengkap, karena ajarannya tidak hanya bicara soal alam, tapi juga soal masyarakat.
Revolusioner, karena ajarannya selalu berpihak kepada apa yang sedang tumbuh dan melawan apa yang sedang melayu berdasarkan hukum perkembangannya. Selanjutnya selalu menuntut penghancuran terhadap apa yang sudah tua, dan membangun yang baru dan lebih maju.
Filsafat M.D.H. mencerminkan watak dan mewakili kepentingan klas bukan pemilik alat produksi yaitu klas buruh atau klas proletar yang tertindas dan terhisap, serta merupakan satu-satunya filsafat yang berpihak kepada klas buruh atau klas proletar itu.

4. M.D.H. dan Klas Buruh serta Peranannya

Filsafat M.D.H. merupakan senjata moril bagi perjuangan klas buruh. Tanpa filsafat M.D.H, perjuangan klas buruh tidak akan mempunyai kekuatan raksasa. Perjuangan tidak akan mencapai hasil yang fundamentil, dan akan gagal. Sebaliknya, klas buruh merupakan senjata materiil bagi filsafat M.D.H. Tanpa klas buruh, filsafat M.D.H. tidak akan mempunyai kekuatan dan tidak akan ada artinya sebagai ilmu sosial. Sebab, hanya klas buruh yang mampu dan konsekuen melaksanakan ajaran Filsafat M.D.D. didalam praktek.

5. Pentingnya Berfilsafat M.D.H.

Filsafat M.D.H. adalah filsafat yang benar. Karena itu berfilsafat M.D.H. penting. Dengan berfilsafat M.D.H, orang akan memiliki ilmu berfikir, pandangan dan metode berfikir yang benar. Dengan itu berarti mempunyai pedoman yang tepat untuk mengambil sikap dan bertindak yang tepat dalam menghadapi gejala-gejala dan memecahkan problem-problemnya yang timbul didalam alam dan masyarakat.

Dengan begitu, orang yang berfilsafat M.D.H. akan memiliki pandangan yang jauh kedepan dan revolusioner. Juga akan mempunyai sikap yang teguh dan konsekuen, tidak mudah digoyahkan dan dombang ambing oleh keadaan atau oleh gejala-gejala yang dihadapi.

6. Cara Belajar Filsafat M.D.H.

Filsafat M.D.H. adalah suatu ilmu dan merupakan senjata perjuangan revolusioner klas buruh atau klas yang tertindas dan terhisap. Karena itu belajar filsafat M.D.H. harus secara ilmiah dan berwatak klas buruh, yaitu :

Dengan pendirian klas proletar dan melawan ideologi klas non-proletar yang ada didalam diri sendiri.
• Secara ilmiah dan melaksanakannnya didalam praktek.
• Menarik pengalaman dari pelaksanaan praktek dan menyimpulkan hasil praktek itu.
• Menangkap pengertian dan menggenggam semangat revolusionernya serta selalu menuntut perubahan dengan membangun yang baru dan lebih maju.
Read more ...

Minggu, 29 Mei 2011

Kandidat Dan "Politik Pencitraan"

Ada joke anak muda yang mengatakan, “jangan hanya melihat casing luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam isinya.” Joke ini sangat tepat untuk menyindir gaya berpolitik pencitraan. Di kalangan anak muda yang gaul, ada segudang istilah untuk menyebut gaya politik “tampilan luar” semacam ini, diantaranya, “lebay”, “narsis”, dan lain sebagainya.
Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun “tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli. Padahal yang di tawarkan itu sama sekali tidak bisa di pertanggung jawabkan.
Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.
Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979.
Demikian juga dengan kandidat sekarang yang kebanyakan memoles diri mereka seindah mungkin untuk merebut hati rakyat. Seolah – olah dialah yang pantas dipilih dan berkopeten memimpin negeri ini. Politik kosmetifikiasi terus di lakukan dengan harapan mendapatkan belas kasihan dari rakyat untuk memilihnya. Berbagai cara di lancarkan supaya dirinya itu mendapatkan simpati dari rakyat. Padahal kandidat tersebut banyak yang hanya menjadi pengemis kepada rakyat untuk memberikan satu suara untuk dia. Baik di lakukan dengan pendekatan hati – ke hati juga melalui jalan pintas.
Politik pencitraan memang metode komunikasi politik yang sangat mudah untuk memikat hati pemilih. Mereka hanya mengandalkan kemampuan pencitraan saja. Komunikasi politik melalui pencitraan lebih banyak mengatakan hal-hal yang bohong dan tidak ilmiah. Mereka tidak berani berhadapan langsung untuk berdebat “gagasan” apa yang mereka tawarkan untuk kesejateraan rakyat. Mereka itu lebih memilih memasang baleho besar-besar di pinggir jalan, memasang iklan di media cetak maupun elektronik. Biaya politik pencitraan memang sangat boros bila di bandingkan dengan perpolitikan yang biasa-biasa saja.
Ada beberapa konsekuensi dari penerapan politik pencitraan ini: pertama, kita selalu menemukan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, dan ketimpangan antara janji-janji dan pelaksanaannya. Kedua, ada proses manipulasi data, khususnya statistik, yang sangat menonjol dan sistematis, seperti data soal angka kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Ketiga, seringkali terlihat lambat dalam merespon “situasi genting”, begitu banyak pertimbangan (soal image), dan tidak pemberani dalam mengambil-alih persoalan berat. Keempat, suka menyuap “mulut kaum yang lapar” dengan program belas kasihan yang sangat terbatas, tentative, dan tidak kontinyu, seperti membagi-bagikan kain sarung, beras, gula, minyak goreng dan lain sebagainya.
Pendek kata, karena politik pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka dengan mudah pun ia akan tersingkap. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari rakyat pun bisa menyingkapnya.
Read more ...

Sabtu, 28 Mei 2011

Pengemis Masih Mewabah Di Banda Aceh

Banda Aceh – Akhir-akhir ini di Kota Banda Aceh merupakan pusat ibu kotaa Provinsi Aceh sedang mewabah pengemis. Pengemis sangat mudah kita temukan di setiap sudut kota. Baik di setiap persimpangan/lampu merah maupun setiap warung-warung kopi. Untuk mengatasi penyakit sosial tersebut, Dinas Sosial Provinsi Aceh seharusnya menjadi pilar utama menertibkan gelandangan dan pengemis (Gepeng) itu. Namun peran ini dilakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Banda Aceh, sepertinya tak berhasil membersihkan Kota Banda Aceh itu dari serbuan para pengemis. Apalagi, upaya yang dilakukan hanya sebatas menangkap lalu memberi nasehat yang tak memberikan efek jera bagi pengemis yang umumnya datang dari sejumlah kabupaten dan kota dari Pantai Timur Aceh itu.

Petugas pemerintah terus merazia pengemis, namun tidak ada pembinaan dari pemerintah kepada pengemis, yang kentara terlihat petugas merazia pengemis seakan-akan mereka itu penjahat kelas kakap. Pemerintah tidak mempunyai jalan keluar untuk membina supaya bisa hidup normal.

Inilah potret kehidupan para pengemis di banda aceh semakin meresahkan warga, namun pemerintah hanya merazia mereka dan menangkap tanpa ada pembinaan. Yang tidak habis pikir, bahwa pengemis selalu dipulangkan dan “dibersihkan”, tapi juga tidak berapa lama sudah seperti semula. Hal ini, tentu harus dilihat apakah sebagai murni “kemauan” mereka sendiri, atau ada “nafsu” yang merasuki dan memberi semangat untuk menyuburkan kondisi ini.

Sekjend DPP PRA Thamren Ananda mengatakan “Pengemis di Aceh di sebabkan oleh beberapa faktor, tapi yang dominan disebabkan oleh tidak ada lapangan kerja. Seharusnya pemerintah lebih konsen dalam membuka lapangan kerja. Sehingga bisa menekan angka pengemis / pengangguran.

“Faktor kultur juga mempengaruhi, yaitu budaya malas dan cacat fisik, tapi keberadaan lapangan kerja sangat dominan mewabahnya pengemis di suatu daerah. Keberadaan pengemis di sebuah daerah menjadi cerminan masih rendahnya tingkat kesejahteraan. Uangkap Thamren Ananda yang juga mantan aktivis SMUR tahun 1998.

Warkop yang bertaburan di aceh yang disesaki oleh pengunjung juga menjadi tempat berkumpul kelas menangah keatas menjadi lahar subur bagi pengemis untuk beroperasi. Karena pengemis lebih memudahkan dalam meminta-minta, hal ini orang yang berkumpul di setiap warkop beragam kelas. Uang seharga seribu bagi mereka tidak ada nilainya, sehingga pengemis banyak memilih untuk bergerilya di setiap warkop.

Selain itu pengemis beroperasi di setiap lampu merah, hal ini sangat membahayakan jiwa pengemis maupun pengendara di jalan. Pengemis kerap berebutan untuk mendekati mobil-mobil mewah yang sedang singgah di lampu merah.

Yang sangat miris hati ketika menglihat Anak-anak di bawah umur juga ikut mengambil peran menjadi pengemis. Seharusnya anak-anak tersebut harus menimba ilmu pengetahuan, tetapi di korbankan menjadi pengemis / gepeng untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Inilah salah satu potret kemiskinan yang sedang melanda Aceh, sehingga anak-anak menjadi korban keganasan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada Rakyat.

Munculnya pengemis anak-anak menimbulkan prasangka negatif dari beberapa kalangan. Tidak masuk akal seorang anak-anak di bawah umur masih berani berkeliaran meminta-minta sampai menjelang pukul 22.00 Wib. Hal ini mengindikasikan ada orang di balik semua ini yang mengelolanya.

Hal ini seperti di ungkapakan oleh seorang pelanggan warung makan pak ulis di Lamnyong yang tidak mau disebut namanya “ saya menglihat ini ada orang yang berada di belakang pengemis, saya berkeyakinan ini pernah menglihat di warung makan pak Ulis di Lamnyong beberapa hari lalu seorang pengemis di antar dengan becak, lalu becak tersebut menunggu pengemis itu selesai beroperasi dari kejauhan”.

“Selanjutnya Anak-anak balita yang di gendong oleh nenek, tidak masuk akal seorang nenek masih memiliki seorang anak. Hal ini mengindikasikan ada pihak-pihak tertentu menggunakan anak balita, atau menyewakan anak tersebut untuk mencari sedekah.” Ungkapnya lagi.

Hal ini di perkuat oleh pernyataan Staf Save Emergency For Aceh (SEFA) yang konsen melakukan kajian kebijakan publik, Zulyadi Ulim “Pengemis ini kebanyakan datang dari luar kota dan saya yakin ada orang yang memobilisasi ke Banda Aceh. Hal ini sangat kentara terlihat di setiap warkop dan cafe, pengemis ada yang mengantarkan baik dengan becak maupun dengan sepeda motor. Ini biasa kita dapatkan di sekitar wilayah Ulee Kareng dan sekitarnya. Kalau mau lebih jelas silakan nongkrong di warung Purnama dekat dengan REK Peunyong.”Ujarnya.

Saya menduga, “ada oknum tertentu yang mempunyai kekuatan di Provinsi membekengi mereka untuk terus beroperasi. Kalau tidak, mana mungkin pengemis itu berani kembali setelah di razia oleh petugas. Dan setiap petugas merazia banyak pengemis lenyap begitu saja di tempat-tempat biasanya mereka beroperasi.” Ungkap aktivis SEFA tersebut.

Ada seorang pengemis malah dengan fisik yang kuat dan anak-nya yang sudah besar masih saja mengemis di setiap warkop. Nenek tersebut yang datang dari Kabupaten Pidie Kecamatan Delima. Nenek tersebut mengungkapkan dia datang dari kabupaten Pidie Kecamatan Delima sudah dua hari yang lalu, dan tinggal bersama anak sulungnya di Lam Ateuk Kec Kota Baro Kab Aceh besar. “saya datang sudah dua hari lalu dan tinggal di tempat anak sulung saya. Anak saya semua sudah besar dan sudah berkeluarga semua”. Uangkap Nek Ti tersebut.

Namun ada pengemis lainnya ‘Nyak Munah’ mengungkapkan : “Melakukan ini karena tidak ada pilihan lain, Walaupun saya di kejar-kejar oleh petugas, saya akan tetap melakukan ini demi keluarga saya di kampung

“saya pernah di tangkap oleh petugas, lalu saya di pulangkan ke kampung kembali tanpa ada pembinaan. Kalau pemerintah mau memberikan modal kepada saya, maka saya akan membuat usaha untuk menghidupkan keluarga saya. Sedangkan suami saya tidak punya pekerjaan tetap, dia hanya buruh kasar, sedangkan kebutuhan biaya sekolah anak saya tidak mencukupi kalau hanya mengandalkan pendapatan suami saya”. Pungkas Nyak Munah yang memiliki 4 anak sedang duduk di bangku sekolah di Kabupaten Aceh Utara”.

Dari sisi lain terbaca jelas bagaimana kita sendiri menempatkan gelandangan dan pengemis dalam sebuah lingkaran yang dilematis. Golongan gelandangan dan pengemis “dibenci” habis-habisan pada saat-saat tertentu (walau aksi nyata untuk menyelesaikan masalah pengemis dan gelandangan masih perlu dipertanyakan). Pada saat yang lain, golongan ini juga “disayang” habis-habisan, terutama ketika mengeluarkan komentar untuk mencibir eksekutif dan legislatif.

Read more ...

“Opium Politik” Untuk Kandidat

Kata “Opium” mengingatkan saya pada sebuah pendiskusian menyangkut dengan perkembangan peta politik pilkada di sebuah tempat. Terus, ada seseorang mengatakan dalam diskusi non-formal tersebut “ada yang memberikan Opium buat kandidat tersebut”. “lho... saya suka membaca “opium”. “Opium” yang dimaksud adalah “Opini Umum”. Karena Opini Umum sudah menjadi kebiasaan di kalangan mahasiswa Komuniksi dengan sebutan “Opium”.

Namun kali ini, sebutan itu justru menggelitik hati saya dan membuat semua peserta diskusi tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang sampai air matanya keluar, ada juga harus memegang perutnya. Sebutan “Opium” mengundang semua untuk terus mengetahui maksud yang tersirat. Walaupun dalam tulisan ini sengaja penulis tidak menceritakan ibarat humor, karena hal ini persoalan serius dan sangat riskan terhadap kepemimpinan Aceh kedepan. Memang, pembaca kebingungan ketika membaca “opium” tersebut. Justru, saya sendiri juga demikian halnya menjadikan saya harus lebih keras berpikir kembali. “Opium”, arti sebenarnya adalah Opium, apiun, atau candu (slang Bahasa Inggris: poppy) adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang. Namun sekarang tidak sedang membicarakan makna “opium” yang seperti tersebut di atas, tetapi membicarakan “opium” dalam makna politik. Namun “opium” ini juga tidak kalah membuat orang candu seperti orang kecanduan opium seperti penjelasan diatas.
Opini Umum (Opium)
Membicarakan bagaimana Opini Umum suatu masyarakat dapat direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan golongan tertentu dan mengabaikan gambaran obyektif dari sekian informasi faktual yang ada. Termasuk tentang lingkungan palsu yang ada disekeliling kita dan atas semua yang kita percayai. Opini Umum kita terhadap sesuatu , baik itu benar ataupun salah akan mempengaruhi tindakan kita. Itulah sebabnya Opini Umum penting untuk digiring agar sejalan dengan kepentingan golongan tertentu atas nama : Negara, Pemerintah, Bangsa atau golongan tertentu dan lain- lain. Demikian juga halnya dengan “opium politik” harus menjadi perhatian kita semua pihak.
Namun kali ini “opium” yang di maksud disini bukanlah “Opini Umum” seperti di jelaskan pada paragraf sebelumnya. Walaupun secara substansi ada kedekatan karakter dan sifat Opium Politik tersebut. Karena pelaku opium politik itu mengabaikan kenyataan realitas dan fakta di lapangan. Sama halnya dengan Opini Umum juga mengabaikan realitas dan fakta di lapangan.

“Opium Politik”
Hadirnya kembali calon independen di Aceh membuat banyak kalangan berkeinginan untuk mencalonkan menjadi orang nomor satu di setiap daerah. Sehingga membuat banyak orang latah ingin berpartisifasi pada Pilkada 2011. Saat inilah pelaku opium politik beroperasi, bergerilya kepada semua aktor politik yang punya nafsu besar untuk menjadi Gubernur maupun Bupati. Pelaku tersebut terus meyakinkan korban untuk maju dengan memberikan angin syurga kesetiap kandidat yang mereka jumpai. Mereka tidak peduli apakah korban yang mereka suntik itu berkwalitas atau tidak, yang terpenting bagi mereka korban bisa bermimpi indah duduk di Istana yang serba mewah dan serba dilayani . Sehingga korban tersebut ibarat orang mabuk minum keras tanpa sadarkan diri. Apapun yang di minta dari korban bisa langsung diberikan. Saat inilah pelaku akan menguras isi kantong korban. Korbanpun seperti terhipnotis menyerahkan semua yang ia miliki tanpa berpikir panjang. Kenapa bisa terjadi? Akal sehat tidak lagi di gunakan saat itu, ketika virus opium politik itu terus menerus di suntik.
Padahal kalau di lihat dari kapasitas, orang yang bertepuk dada ingin mencalonkan diri belum tentu ada kapasitas. Jangankan terpilih untuk Gub dan Bupati, kita calonkan untuk geuchik saja tidak ada orang yang pilih. Biasanya kandidat demikianlah yang mudah menyuntik “virus opium politik.
Banyak yang eforia dalam menyambut calon perseorangan ini dengan bangga menyatakan dirinya akan mencalonkan untuk Bupati maupun Gubernur. Membuat seseorang tidak rasioanal dan objektif dalam menilai kelayakannya. Mereka ini sering subjektif dalam bertindak dan menilai diri sendiri. Apalagi kalau suntikan opium politik semakin dahsyat, akhirnya over dosis. Bila over dosis yang terjadi, maka Rumah Sakit Jiwa akan menunggu.
Sebaiknya setiap kandidat yang mempunyai hasrat untuk ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi harus sangat berhati-hati dengan agen “opium politik”. Agen tersebut sangat lincah dalam merajut kata, merangkai kalimat di hadapan kandidat. Menilai pelaku tersebut sangat mudah bila objektif dalam berpikir dan bertindak. Mereka pasti akan memberikan angin syurga dan mengatakan hal – hal yang membuat seseorang melambung tinggi ke angkasa. Perkataan mereka biasa tidak rasional dan tidak masuk akal, sering berkata tidak sesuai dengan informasi faktual. Kalau di ibaratkan dengan ungkapan bahasa gaul adalah “lebay”. Kalau hal ini terjadi, bersiap-siaplah suntikan “virus opium politik” akan segera di lakukan.
Opium politik memang lumrah terjadi setiap menjelang suksesi pesta demokrasi didaerah manapun. Apalagi di tengah – tengah masyarakat yang apatis terhadap politik dan sudah sangat kecewa terhadap janji – janji belaka. Pelaku ini sebenarnya mereka yang melacurkan diri atau dalam istilah lain ”broken politik” untuk mengeruk keuntungan sesaat. Penyuntik opium politik ini hanya mempergunakan kebegokan seseorang untuk kepentingan pribadinya. Sehingga banyak kandidat akan melambung tinggi mendengar janji-janji manis penyuntik opium politik ini.
Read more ...

Pilkada Aceh: Dari Pengumpulan KTP Hingga Politik Uang

Perjuangan masyarakat sipil Aceh berhasil membuka ruang demokrasi seluas-luasnya, ditandai dengan keberhasilan mencabut pasal 256 UU Pemerintahan Aceh yang mengatur soal calon perseorangan. Perjuangan ini dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Desember lalu, sekaligus kemenangan bersejarah bagi seluruh bakal calon kandidat Gubernur maupun bupati yang hendak maju dari jalur perseorangan. Meskipun begitu, tidak semua elit politik di Aceh setuju dengan kemajuan demokrasi ini, dan mereka tidak menginginkan kekuatan politik lain memimpin Aceh. Ada pula yang mendukung calon independen, tetapi sulit untuk mempercayai bahwa calon independen bisa menjalankan roda pemerintahan karena sulitnya mendapat dukungan parlemen.

Namun, di balik semua itu, kita membutuhkan kedewasaan politik semua pihak dalam menilai dan menyikapi putusan MK tersebut. Nilai plusnya ada pada penegakan hukum yang dilakukan oleh MK yang masih pro-demokrasi. Artinya, kita patut memberi apresiasi kepada MK atas keberanian yang luar biasa dalam mencabut pasal 256 dan mengabulkan seluruh tuntutan penggugat. Akhirnya, Aceh kembali bisa menikmati calon perseorangan untuk bertarung dalam pilkada dalam waktu dekat.

Nah, pertanyaannya: bagaimana melihat implementasi pasca MK memenangkan gugatan beberapa orang masyarakat sipil tersebut ? Akankah Pemerintah Aceh baik Eksekutif maupun Legeslatif menyambut baik putusan ini ? Jawab: belum ada jawaban. Tinggal kita lihat sejauh mana DPRA mempercepat pembuatan qanun sebagai acuan Komite Independen Pemilihan (KIP) dalam mewasiti kompetisi pesta demokrasi tahun 2011 ini. Sebab, jika DPRA lambat untuk menciptakan qanun itu, maka proses demokrasi ini bisa teciderai oleh permainan kotor dalam politik.

Sejauh ini, geliat politik di Aceh sudah ditandai dengan kesibukan masing-masing kandidat untuk mengurus kelengkapan administrasi. Kandidat yang hendak maju dari partai politik sedang sibuk mencari dukungan parpol, sementara calon kandidat independen sibuk menggali dukungan dari massa rakyat di pelosok-pelosok. Hirup-pikuk pencalonan ini saja sudah mendorong pemanasan suhu politik hingga ke desa-desa. Para calon kandidat sudah memanfaatkan khutbah – khutbah jumat, memasang baliho di pinggir jalan, cetak kalender, membuat pertemuan di desa – desa, dan memulai ke dayah – dayah guna mencari dukungan.

Pada lapangan praktis, perjuangan untuk menjadi kandidat independen jauh lebih berat ketimbang maju dari parpol. Seorang calon independen harus mengumpulkan KTP sebagai persyaratan administatif, dan itupun masih akan diverifikasi oleh panitia pemilihan sebelum mendapatkan penetapan sebagai kandidat sah. Berbeda dengan pilkada lima tahun silam dimana surat dukungan banyak orang bisa disatukan dalam satu surat dukungan, maka sekarang ini surat dukungan harus ditandangani setiap orang, dilengkapi KTP dan materai.

Proses pengumpulan KTP ini akan berhadapan dengan beberapa tantangan: Pertama, masyarakat Aceh semakin banyak yang alergi dengan politik, sehingga sangat sulit mendapatkan dukungan maupun KTP dari mereka. Kedua, Karena buruknya administrasi kependudukan, maka masih banyak warga yang belum punya KTP tetapi ada pula yang punya KTP ganda. Ketiga, Menguangtnya pragmatism di tingkatan massa rakyat, yang sangat memungkinkan menjadi lahan subur “politik uang”. Artinya, mereka yang bisa mudah mendapatkan KTP adalah para pembeli surat dukungaan.

Apa yang terjadi selanjutnya ? Dengan waktu yang semakin mepet, dan apatisnya masyarakat terhadap politik, maka banyak kandidat akan mengambil jalan pintas dengan membeli semua KTP dari masyarakat. Ini akan menjadi dilema bagi KIP dan panitia pemantau pemilu, apakah ini politik uang atau bukan, atau apakah ini yang di sebut dengan cost politic?

Tetapi, menurut saya, parameternya sudah sangat jelas: penggunaan uang untuk operasional pengumpulan KTP masuk dalam kategori cost politic, sementara upaya membeli surat dukungan atau KTP dikategorikan politik uang. Modus politik uang saat pengumpulan KTP pun bisa macam-macam, mulai dari modus beli KTP orang secara langsung hingga kedok “foto-copy KTP dengan biaya puluhan ribu”.

Ini akan menjadi tantangan besar bagi demokrasi Aceh yang baru lahir kembali. Demokrasi di Aceh akan diuji ketangguhannya di sini. Gerakan rakyat dan gerakan pro-demokrasi harus ambil bagian dalam mengawal proses ini, terutama dalam meminimalkan potensi politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya.

Terlepas dari itu semua, ini merupakan sebuah kemajuan demokrasi yang perlu kita kawal dan sempurnakan. Juga, bahwa proses demokrasi ini harus segaris dengan aspirasi kolektif untuk menciptakan perdamaian di Aceh yang Abadi.

Read more ...

Sekilas Tentang Politik Praktis

ADA kecenderungan di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak muda yang sering disebut sebagai “aktivis”, untuk melihat dunia politik praktis dengan pandangan yang agak kurang bersahabat, dengan sinis.

Yang saya maksud dengan politik praktis di sini adalah terbatas pada politik penyelenggaraan pemerintahan/negara. Tentu, definisi politik bukan hanya terbatas pada sektor itu. Tetapi sinisme yang saya maksud di sini hanyalah sebatas pada sektor politik pemerintahan dan negara.

Seseorang yang semula dihormati karena menjadi “orang bebas” yang bisa mengutarakan pendapat dan kritik secara leluasa, akan langsung kehilangan “kredibilitas moral” begitu masuk ke sektor politik.

Ada semacam standar etis yang dipakai oleh masyarakat, terutama kalangan muda. Yaitu, seseorang yang bebas dan tak terikat oleh kekuasaan politik praktis dipandang lebih mulia secara moral ketimbang yang terlibat. Tentu hal ini tak pernah dikatakan secara langsung, tetapi saya bisa merasakan hal itu melalui pergaulan saya dengan sejumlah orang saat ini.

Saya kira, sinisme semacam ini sepenuhnya bisa dipahami. Praktek politik selalu tak seindah gagasan-gagasan besar yang mengilhaminya. Praktek politik selalu “inferior” terhadap cita-cita yang melandasinya.

Saya kira sumber kekecewaan publik pada para politisi adalah sangat sederhana: para politisi selalu gagal memenuhi cita-cita atau harapan yang dikemukakan kepada publik waktu berkampanye. Janji politisi hanya indah di mulut, tetapi gagal diterjemahkan dalam dunia nyata.

Ungkapan yang kerap kita dengar adalah bahwa Si Polan yang dulunya “idealis” ternyata sama saja dengan yang lain waktu menjadi pejabat atau masuk dalam lingkaran “sistem”.

Kekecewaan publik adalah karena adanya “gap” antara ide dan pelaksanannya, antara cetak-biru dan praktek.

Saat perubahan-perubahan politik terjadi setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru, masyarakat (saya kira yang disebut “masyarakat” di sini adalah masyarakat menengah kota) memiliki harapan yang meruap. Kata sihir yang menjadi mantra adalah “reformasi”. Kata ini adalah semacam “password” untuk membuka dunia ideal yang mereka cita-citakan.

Sebagaimana kita tahu, perubahan-perubahan politik di negeri kita tidak sepenuhnya membawa hasil sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Di sinilah muncul kekecewaan yang menyakitkan. Dari kekecewaan itulah lahir sikap sinis dan skeptis.

Biasanya, makin besar harapan, kemungkinan untuk kecewa juga kian besar pula.

Saya sendiri juga menaruh harapan yang besar terhadap perubahan-perubahan politik di Indonesia yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini. Saya tentu menyimpan banyak kekecewaan di sana-sini.

Biasanya saya langsung sedih dan kecewa saat melihat kontras antara kehidupan yang saya anggap normal dan “tertib” serta makmur sebagaimana kita saksikan di Cuba, China, dan kenyataan yang pahit sebagaimana saya saksikan di Indonesia sekarang. Gembel hampir di setiap lampu merah, rumah kumuh dimana-mana, masyarakat tinggal di bawah kolong jembatan, pokoknya kompleklah penderitaan yang di rasakan oleh masyarakat miskin yang tidak mendapatkan akses ekonomi, politik dan social budaya. Apa lagi pendidikan jauh dari harapan, disebabkan pendidikan yang sangat mahal.

Perasaan sedih dan murung langsung menyerbu tanpa ampun saat saya menginjak kaki di Jakarta. Saya sangat merasa murung karena melihat kontras gap antara si kaya dengan si miskin. Ibu kota Jakarta yang terdengar megah, mewah di tambah lagi dengan tugu Monas yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia tidak sesuai dengan realita situasi ekonomi yang masyarakat miliki.

Gap semacam ini sudah pasti ada pada setiap orang. Semua orang sudah pasti memiliki cita-citanya sendiri. Dan karena itu semua orang memiliki kekecewaannya masing-masing.

Melihat kontras itu, saya langsung kecewa, karena ada “gap” antara harapan yang ada dalam pikiran saya sendiri dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.

YANG kurang disadari oleh masyarakat luas (termasuk saya sendiri) adalah bahwa politik adalah semacam “reservoir” atau kolam besar tempat bertemunya segala macam harapan dan cita-cita. Tidak semua harapan itu klop dan saling kongruen.

Harapan masyarakat, sebagaimana kita tahu, dipengaruhi oleh aspirasi politiknya masing-masing. Sementara itu, aspirasi politik juga ditentukan oleh perbedaan paham, aliran, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Karena tiap-tiap paham dan aliran membawa aspirasi politiknya masing-masing, maka bukan mustahil harapan politik juga beragam, dan kerapkali saling kontradiksi. Tentu ada banyak aspirasi yang saling klop; tetapi, kita tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa aspirasi dan harapan masyarakat bisa saling tabrakan.

Ini membuat kedudukan politisi menjadi tidak mudah. Politisi berdiri sebagai semacam seorang administratur yang mengelola kolam besar tempat bertemunya cita-cita dan harapan itu. Dia harus mengatasi sejumlah harapan yang tidak sepenuhnya klop dan bersesuaian, tetapi juga kerapkali saling kontradiktif.

Belum lagi jika kita perhitungkan bahwa seorang politisi mempunyai harapan dan kepentingan sendiri. Kita tak boleh lupa, bahwa seorang politisi adalah manusia pula yang memiliki kepentingannya sendiri.

Dunia politik juga menjadi tempat di mana seluruh kepentingan saling bersaing, bahkan konflik. Di sana ada kesempatan dan kemungkinan, tetapi di sana pula terdapat banyak halangan dan kendala. Mengelola segala bentuk kepentingan yang saling tabrakan itu tentu sangat tak mudah.

Kita yang di luar arena, bisa dengan mudah mengatakan bahwa Si Polan telah melakukan pengkhianatan atas cita-cita dan harapan rakyat. Tetapi sudut pandang pelaku yang ada di dalam arena mungkin lain. Dilihat dari dalam, seorang politisi berhadapan dengan sejumlah dilema dan diombang-ambingkan oleh banyak kepentingan yang saling tubrukan. Yang lebih parah lagi juga ada tuduhan dari internal sendiri mengatakan Si Polan telah melakukan pengkhiatan atas cita-cita dan harapan rakyat.

Itulah sebabnya, saya sangat kagum pada beberapa figur politisi yang dengan sukses bisa mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul dari situasi politik empiris yang tak mudah seperti itu.

Nada tulisan saya ini memang membela kaum politisi. Saya memang membela mereka, sebab saya tahu betapa sulitnya keadaan yang mereka hadapi. Kami, para intelektual, sarjana, dan aktivis, tentu dalam keadaan yang lebih enak, sebab kami hanya berharap. Politisilah yang akan mengelola harapan itu dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh konstelasi politik yang ada.

Dan saya tahu, betapa tak mudahnya mengelola harapan masyarakat! Apalagi jika kita perhitungkan bahwa dalam masyarakat demokratis, tak akan kita temukan lagi seorang “ratu adil” yang dapat membawa perubahan cepat dalam waktu yang singkat.

Dan seorang politisi itu bukan hanya mengharap tetapi berbuat, tidak harus menunggu di suap, tetapi harus menyuap sendiri. Seorang politisi itu tidak harus selalu menyoroti kesalahan orang, tetapi koreksi kesalahan sendiri. Akhir kata kualitas juga menjadi katalisator untuk mempercepat seorang politisi dalam bertarung di kancah politik, maka ayo tingkatkan kualitas anda dengan bacaan – bancaan yang bermanfaat. Jangan hanya di sibukkan dengan “game” saat berhadapan dengan computer, tetapi sibukkan dirilah dengan bacaan dan menulis. Sekian

Read more ...
Designed By VungTauZ.Com