Breaking News

Minggu, 26 Agustus 2012

Konsep Kepemimpinan Ala Bung Hatta


Adakah pemimpin yang merakyat saat ini? Ah, jangan bicara soal pemimpin. Banyak orang bilang, bangsa Indonesia saat ini sedang krisis pemimpin. Tidak ada pemimpin saat ini yang benar-benar merakyat. Sudah begitu, kehidupan para pemimpin sangat berjarak dengan rakyat.

Ini berakibat buruk: tak ada pemimpin yang sanggup menjadi teladan. Kepercayaan terhadap tokoh politik makin menipis. Jajak pendapat menyebutkan, hampir 48% rakyat Indonesia tak lagi percaya pada pemimpin politik. Dan, pada gilirannya, situasi ini mengarah pada krisis politik.

Nah, jika menilik lembar demi lembar sejarah bangsa kita, maka tak sedikit para pendiri bangsa sudah merumuskan soal kepemimpinan (leadership) ini. Salah satunya adalah Mohammad Hatta atau lebih egaliter dipanggil Bung Hatta.

Bagi Bung Hatta, kewajiban utama seorang pemimpin adalah membaca perasaan rakyat dan memberikan jalan kepada perasaan itu. Seorang pemimpin harus bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Juga mengetahui persoalan yang masih terpendam.

Pada mulanya, kata Bung Hatta, rakyat tak tahu bergerak, sekalipun menanggung penindasan yang keji. Penyebabnya, langkah mereka masih terikat oleh pengetahuan mereka yang masih terbelakang. Paling-paling mereka berfikir pendek: bagaimana supaya tetap bisa makan sehari-hari.

Akibatnya, banyak diantara kaum tertindas itu menyerah pada “apa boleh buat”. Solusi di hadapan mereka cuma satu: pasrah pada keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Situasinya makin parah di bawah rezim otoriter. Bayangkan, rakyat tak punya ruang sama sekali untuk bersuara.

Namun, meskipun demikian, Bung Hatta menyadari bahwa rakyat yang bodoh sekalipun masih punya kemauan dan tujuan. Rakyat yang pasif pun sebetulnya masih punya harapan dan cita-cita.

Nah, di situlah tugas pemimpin. Kata Bung Hatta, seorang pemimpin harus bisa membaca perasaan rakyat, menggerakkan massa yang sulit bergerak sendiri, dan menyuluhi jalan pembebasan rakyat yang masih gelap. Pendek kata, pemimpin harus mengemudikan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Bung Hatta menjelaskan, sebelum pemimpin pergerakan muncul, yang menjadi penyelemat rakyat adalah kaum terpelajar. Mereka merasa iba dengan nasib massa-rakyat. Dari situlah kaum terpelajar, seperti juga dalam sejarah Bangsa Indonesia, menjadi pemula dan penyuluh lahirnya pergerakan rakyat.

Dalam sejarah Indonesia, kaum terpelajar yang terlibat dalam membangkitkan rakyat inilah cikal bakal pemimpin bangsa Indonesia. Sebut saja diantara mereka: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan lain-lain.

Nah, kaum terpelajar pula yang membuka mata rakyat. Kalau mata rakyat sudah terbuka, tugas selanjutnya adalah mengubah individuale actie menjadi massa actie (aksi orang banyak yang tersusun dalam satu badan). Di situlah muncul organisasi sebagai pengikat massa. Di situ pula muncul psikologi kolektif alias “kemauan bersama”.

Di sinilah pemimpin muncul: mengemudikan kemauan bersama massa-rakyat. Kata Bung Hatta, pada saat tertentu kemauan bersama disuarakan dengan jelas, diantaranya, seperti kongres, rapat umum, dan rapat. Tetapi, terkadang pula kemauan harus disuarakan oleh seorang pemimpin. Nah, di situlah tugas pemimpin: menjadi jurubahasa perasaan dan kemauan rakyat.

Organisasi juga mencerminkan kemauan bersama. Oleh karena itu, langkah seorang pemimpin organisasi dikoridori oleh prinsip, azas, dan program organisasi. Kalau ia melanggar, maka sang pemimpin akan diadili oleh anggota organisasinya. Rakyat banyak juga akan memberi penilaian. Untuk itu, seorang pemimpin tak boleh membelakangi atau meninggalkan kemauan rakyat.

Ulfa Ilyas, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber : www.berdikarionline.com
Read more ...
Designed By VungTauZ.Com