Breaking News

Perempuan Siaga Bencana


Bencana alam merupakan sebuah bentuk tragedi yang tidak dapat diprediksikan kapan terjadinya. Meskipun ada jenis bencana yang terjadi secara alami dan ada juga yang terjadi akibat ulah tangan manusia sendiri. Namun apapun penyebabnya, bencana pasti akan selalu memakan korban, baik laki-laki maupun perempuan.

Selain  mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, bencana juga akan membawa dampak kerusakan, kehilangan lapangan pekerjaan, harta benda dan infrastruktur lainnya. Oleh sebab itu bencana harus diantisipasi secara dini untuk mencegah jatuhnya banyak korban.

Dalam hal ini, kelompok yang sangat rentan mendapat imbas dari bencana adalah perempuan, anak – anak, para usia lanjut dan penyandang cacat. Mereka merupakan kelompok yang paling dominan menjadi korban saat bencana. Keberadaan mereka selalu di rumah akan sangat sulit mendapatkan akses informasi saat bencana tiba. Akibatnya mereka menjadi sasaran utama amukan bencana yang datang tanpa mengenal waktu.

Secara fisik, Perempuan dan anak – anak memiliki kondisi yang relatif lebih lemah, sehingga nyaris tak mampu menyelamatkan diri sesigap laki – laki dewasa. Hal ini mengakibatkan kelompok perempuan dan anak – anak lebih banyak menjadi korban dari keganasan bencana.  Apalagi penyandang cacat serta para lansia yang sama sekali tidak mampu menyelamatkan diri saat bencana tiba.

Hal ini terbukti saat tsunami melanda Aceh pada tanggal 26 Desember tahun 2004 silam, fakta menunjukkan bahwa pihak yang menjadi korban paling dominan saat keganasan gelombang tsunami adalah perempuan dan anak – anak. Sehingga wajar bila harus ada perhatian khusus dalam melakukan strategi pengurangan resiko bencana terhadap mereka.

Banyaknya korban perempuan bukan hanya disebabkan oleh faktor fisik, namun juga oleh beberapa hal, seperti mengurusi anak dan menyimpan benda berharga (emas, surat tanah, ijasah dan lain lain), sedangkan laki-laki mayoritas berada diluar rumah karena sedang bekerja.
Saat bencana datang tiba-tiba, masyarakat sering tidak siap bahkan panik dalam menghadapinya meskipun ada teknologisasi yang berfungsi sebagai peringatan dini. Dalam hal ini masyarakat butuh kecerdasan dan ketrampilan khusus sebagai standar dasar untuk penyelamatan awal menghadapi bencana, terutama diberikan pada kaum perempuan karena selain menyelamatkan dirinya, mereka juga harus menyelamatkan anak-anak serta barang berharga yang mudah dibawa. Minimnya pengetahuan dasar ini mengakibatkan banyak perempuan terlambat bahkan gagal menyelamatkan diri karena ingin terlebih dahulu mengambil barang berharga untuk diselamatkan. Padahal secara jujur perempuan merupakan ujung tombak pada proses penyelamatan keluarga ketika bencana itu datang secara tiba-tiba.

Padahal, di balik kerentanan sosial, ekonomi dan budaya, perempuan terbukti paling efektif dalam penanggulangan bencana baik saat pencegahan maupun masa tanggap darurat. Pengorganisasian yang di pelopori oleh perempuan sangat bermanfaat untuk kepentingan mengurangi resiko bencana. Mereka lebih sering berada di rumah dan keberadaannya hampir selalu ada di lingkungan sekitar wilayah bencana, menyebabkan penyebaran informasi melalui perempuan sangat efektif, sehingga kemudian tinggal bagaimana informasi yang di sampaikan itu harus akurat dan tepat.

Melalui peningkatan kapasitas perempuan kesiagaan bencana yang bermuatan Local Wisdom (berkearifan lokal) diharapkan akan mengurangi banyak jatuh korban saat bencana datang. Dari sisi lain, peningkatan keterampilan yang menyangkut kesiagaan dalam menghadapi bencana dapat dilakukan melalui pembentukan “Komunal Perempuan Siaga Bencana” (KPSB), yang akan sangat bermanfaat bagi kaum perempuan untuk mengatasi berkurangnya korban saat bencana. Bila perlu KPSB ini dibentuk di setiap desa bahkan dusun untuk kepentingan saling berkoordinasi sebelum bencana, saat bencana datang maupun setelah bencana.

Komunal ini juga dapat menjadi media “perempuan siaga bencana” untuk saling berdiskusi dan saling bercerita sesamanya. Di dalam wadah inilah perempuan saling membagi pengalaman dan pengetahuan menyangkut siaga bencana.

KPSB juga bisa dibentuk sebagai wadah pendidikan non-formal kesiagaan bencana yang dapat menggunakan berbagai pola seperti arisan yang sering dilakoni oleh perempuan di gampong – gampong dan perkotaan. Pola ini dapat berfungsi sebagai media  konsolidasi untuk mendiskusikan pentingnya memahami pengurangan resiko bencana.

Salah satu upaya penting yang harus dilakukan melalui terbentuknya komunitas ini adalah melibatkan perempuan secara langsung ke dalam simulasi bencana sebagai salah satu langkah untuk mengurangi korban perempuan dan anak, KPSB dapat menjadi sarana efektif untuk memasifkan agenda simulasi-simulasi bencana yang melibatkan perempuan dan anak.   

Dalam pengambilan kebijakan mengatur strategi penanggulangan bencana, KPSB dapat dilibatkan sebagai wadah maupun media perempuan dalam  melakukan penanggulangan bencana—dimana menjadi mutlak untuk melibatkan mereka secara langsung. Karena hal-hal apa saja yang sangat dibutuhkan oleh perempuan saat bencana terjadi hanya perempuanlah yang paling tahu, agar tidak ‘meraba-raba’ dalam menentukan kebutuhannya.

Dengan terbentuknya sekolah non-formal tersebut dipastikan akan berdampak positif dalam mengurangi jatuhnya korban saat bencana, karena masyarakat sudah mendapatkan pendidikan dasar standar penyelamatan saat bencana terjadi. Sekolah – sekolah tersebut bisa terus dilakukan tanpa harus membutuhkan dana besar, pemerintah hanya memfasilitasi sumberdaya yang memiliki fungsi transfer ilmu pengetahuan menyangkut mitigasi bencana kepada putra – putri komunal tersebut.

Manfaat lain yang diperoleh adalah  dapat membuat mekanisme dan rute penyelamatan saat bencana tiba dan pencegahannya, KPSB kemudian bisa juga  berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai pada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan seperti mengurangi pemakaian alat – alat yang berakibat pada pemanasan global, menjaga kebersihan alam sekitar dan juga kesadaran untuk melestarikan alam baik melalui kesadaran menanam pohon maupun menjaga keseimbangan alam. Nilai – nilai Local Wisdom inilah yang harus ditanam dalam jiwa masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya.

Bencana bukan hanya mengancam penduduk pesisir yang dekat laut, namun juga mengancam penduduk yang berada di pegunungan saat terjadi perambahan hutan. Seperti peristiwa di Blang Pandak, Kecamatan Tangse,Kabupaten Pidie satu tahun lalu. Banjir bandang yang melanda Kecamatan yang dikenal subur ini telah memporak – porandakan beberapa desa dengan kerugian material miliaran rupiah, bahkan memakan korban jiwa, menghilangkan lapangan pekerjaan dan menghancurkan tempat tinggal.

Nah, bila pola ini kita terapkan dalam menangani pengurangan resiko bencana, dapat menjadi jalan alternatif untuk pencegahan dan bisa meminimalisir jatuhnya korban saat bencana terjadi. Didalam komunal tersebut, banyak manfaat yang dapat didiskusikan, baik menyangkut bencana, kesehatan ibu dan anak serta berbagai hal lainnya. Wadah ini juga dapat  menjadi media silaturrahmi antar warga yang akhirnya menciptakan ketentraman di desa tersebut.

Peran Perempuan dalam Sosialisasi Siaga Bencana

Komunal Perempuan Siaga Bencana  (KPSB)  menjadi wadah konsolidasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dasar siaga bencana yang dikemas  dalam “Indigenous Knowledge” (pengetahuan lokal) apa yang harus di lakukan saat bencana tiba.

Melalui pola arisan misalnya, KPSB dapat menciptakan pengetahuan lokal  untuk mencegah banyaknya korban saat bencana. Hal ini terbukti di Kabupaten Simeuleu, hanya memakan korban sebanyak 7 orang saat tsunami melanda Aceh, karena di tengah-tengah masyarakat sudah terdidik pengetahuan lokal menyangkut dengan kesiagaan bencana.

Ternyata sosialisasi bencana juga dapat dilakukan melalui kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi tradisi/ budaya di tengah – tengah masyarakat untuk bercerita kepada anak – anaknya melalui hikayat – hikayat atau sering disebut cerita rakyat.

Dari syair – syair dan cerita rakyat tersebut, orang tua—terutama ibu—dapat menceritakan sesaat sebelum anak – anak tidur, sehingga menjadi pendidikan yang sangat baik untuk memberitahukan kepada generasi penerus bahwa bila terjadi seperti apa yang didengar dalam syair tersebut, maka harus segara mencari tempat yang aman.

Bila sejak kecil sudah diceritakan, maka akan melekat dalam jiwa mereka tanda – tanda bencana akan tiba seperti tsunami bagi yang tinggal di pesisir dan cerita banjir bandang untuk yang berada di pegunungan maupun bencana lainnya.

Bahkan melalui syair – syair tersebut para ibu juga dapat mensosialisasikan pentingnya melestarikan hutan untuk mencegah banjir dan kekurangan air di kemudian hari nanti. Pendidikan dengan cara seperti ini akan cenderung melekat kuat pada anak karena bahasa ibu terhadap anaknya sangat melekat secara psikologis.

Artinya bila kearifan lokal ini dapat dilembagakan, maka akan sangat efektif sebagai upaya untuk penanggulangan resiko bencana. Karena akan langsung tersentuh pada sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, terutama ketika menjadi syair yang dinyanyikan oleh ibu – ibu saat menidurkan anaknya akan sangat melekat dalam jiwa mereka sampai dewasa. Anak tersebut juga akan memahami apa yang mesti dilakukan saat bencana tiba. Seperti contoh anak – anak di Jepang, saat gempa datang mereka semua langsung mengambil posisi di bawah meja yang bisa melindungi kepala mereka.

Kearifan lokal, hikayat – hikayat dan cerita rakyat sangat ampuh dalam mengurangi korban saat bencana datang. Seperti yang berlaku pada warga dan orang tua di kabupaten Simeulue mewariskan cerita secara turun temurun bahwa bila terjadi gempa dan air laut surut, maka segera mencari tempat yang lebih tinggi karena air laut akan menerjang daratan. Hal ini terbukti seperti ungkapan dalam bahasa Simeulue “Nga Linon Fesang Smong” (“jika ada gempa, lari ke gunung karena akan ada air tinggi”), ungkapan ini setiap hari di sampaikan oleh orang tua kepada anaknya baik melalui syair – syair, maupun saat berkumpul dengan sesama warga dan keluarga di rumah menjelang makan malam.

Selain itu, juga terdapat pantun yang sering mereka ucapkan seperti “Tak usah takut anak cucuku, smong (tsunami) itu mandi-mandimu dan gempa itu ayun-ayunanmu”. Jadi, ini merupakan pesan yang ingin disampaikan untuk tidak panik saat gempa datang. Pesan lain yang tersirat disitu bahwa gempa dan tsunami merupakan konsekuensi masyarakat yang tinggal di wilayah yang rentan gempa. Maka semua warga diminta untuk tetap waspada dan selalu siaga menghadapi bencana. Itulah pesan yang ingin disampaikan dalam syair tersebut.
Cerita rakyat berbasiskan bencana yang di sampaikan oleh para ibu ini sudah terbukti ampuhnya seperti di Kabupaten Simeulue. Hampir semua warga dan anak – anak sangat memahami kode alam yang dilihatnya. Hal ini terbukti dengan minimnya jumlah korban di Simeulue saat Tsunami tahun 2004 silam jika di bandingkan dengan daerah – daerah lain. Padahal jika dilihat dari wilayahnya, kabupaten ini merupakan wilayah paling dekat dengan episenter gempa, secara logika pasti akan banyak memakan korban. Pengetahuan lokal seperti ini selayaknya dijadikan sebagai budaya pada masyarakat dan harus dijadikan sebagai pengetahuan lokal untuk mengurangi resiko bencana.

Bila perlu harus ada orang yang di “tua” kan dalam gampong (desa) khusus untuk mengawasi pengurangan resiko bencana. Seperti adanya “Keujrun Blang” yang selalu mengingatkan masyarakat bila sudah saatnya turun ke sawah dan juga “Pawang Uteun” dan “Panglima Laot” menjadi penengah saat ada sengketa – sengketa  dan menjadi penasehat spiritual. Inilah makna dari Local Wisdom yang harus digali untuk kemaslahatan masyarakat dalam mengurangi resiko bencana.

 Pengambilan Kebijakan
Dalam maksimalisasi upaya penanggulangan bencana, tidak hanya membutuhkan kontribusi dari masyarakat, namun juga dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk mengatasi sedini mungkin. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan pemerintah dalam mengurangi jatuhnya korban saat bencana. Pemerintah harus mampu membuat kebijakan serta aturan tegas dan mangalokasikan anggaran khusus bencana. Sebagai instrument, pemerintah wajib memiliki lembaga khusus dengan anggota yang professional dalam menangani korban bencana.

Kebijakan secara yuridis dan budgeting merupakan hal yang wajib diprioritaskan oleh pemerintah. Produk hukum mitigasi bencana misalnya harus benar – benar di perhatikan serta berpihak terhadap perempuan dan anak. Oleh sebab itu dibutuhkan pelibatan perempuan secara langsung saat aturan itu dibuat.

Pelibatannya akan sangat mudah bila KPSB sudah terbentuk. Pemerintah tinggal membuat pertemuan dengan KPSB  untuk menyaring aspirasi mereka dalam hal kebutuhan siaga bencana, baik untuk pembuatan produk hukum maupun dalam budgeting. Dalam pembuatan produk hukum juga harus bersifat kearifan lokal seperti pengetahuan lokal/ pribumi untuk di legalkan/ dilembagakan, bahkan harus dijadikan kurikulum siaga bencana dalam sekolah.

Selain aturan pemerintah yang jelas dan sensitif terhadap perempuan, teknologi peringatan dini merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Teknologisasi peringatan dini dan juga teknologi dalam mengadvokasi korban bencana harus di sediakan oleh pemerintah. Baik itu berupa teknologi advokasi yang cukup juga camp – camp penampungan sementara yang harus memenuhi privatisasi bagi perempuan menyusui dan ibu hamil.

Peran Ulama dalam pencegahan bencana juga menjadi nilai lebih di Aceh. Fatwa Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) misalnya; siapapun yang melakukan perusakan alam/ hutan merupakan pekerjaan yang berdosa, karena banyak kemudharatan di kemudian hari. Kebijakan ini melalui fatwa ulama menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat untuk melakukan pencegahan bencana terjadi. Ini juga bagian dari Local Wisdom yang patut dipergunakan untuk pencegahan bencana terjadi, terutama bencana yang akibat dari ulah tangan manusia sendiri.

Juara II Lomba Menulis di selenggarakan oleh Pekan Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB).
Designed By VungTauZ.Com