Breaking News

Minggu, 29 Mei 2011

Kandidat Dan "Politik Pencitraan"

Ada joke anak muda yang mengatakan, “jangan hanya melihat casing luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam isinya.” Joke ini sangat tepat untuk menyindir gaya berpolitik pencitraan. Di kalangan anak muda yang gaul, ada segudang istilah untuk menyebut gaya politik “tampilan luar” semacam ini, diantaranya, “lebay”, “narsis”, dan lain sebagainya.
Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun “tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli. Padahal yang di tawarkan itu sama sekali tidak bisa di pertanggung jawabkan.
Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.
Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979.
Demikian juga dengan kandidat sekarang yang kebanyakan memoles diri mereka seindah mungkin untuk merebut hati rakyat. Seolah – olah dialah yang pantas dipilih dan berkopeten memimpin negeri ini. Politik kosmetifikiasi terus di lakukan dengan harapan mendapatkan belas kasihan dari rakyat untuk memilihnya. Berbagai cara di lancarkan supaya dirinya itu mendapatkan simpati dari rakyat. Padahal kandidat tersebut banyak yang hanya menjadi pengemis kepada rakyat untuk memberikan satu suara untuk dia. Baik di lakukan dengan pendekatan hati – ke hati juga melalui jalan pintas.
Politik pencitraan memang metode komunikasi politik yang sangat mudah untuk memikat hati pemilih. Mereka hanya mengandalkan kemampuan pencitraan saja. Komunikasi politik melalui pencitraan lebih banyak mengatakan hal-hal yang bohong dan tidak ilmiah. Mereka tidak berani berhadapan langsung untuk berdebat “gagasan” apa yang mereka tawarkan untuk kesejateraan rakyat. Mereka itu lebih memilih memasang baleho besar-besar di pinggir jalan, memasang iklan di media cetak maupun elektronik. Biaya politik pencitraan memang sangat boros bila di bandingkan dengan perpolitikan yang biasa-biasa saja.
Ada beberapa konsekuensi dari penerapan politik pencitraan ini: pertama, kita selalu menemukan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, dan ketimpangan antara janji-janji dan pelaksanaannya. Kedua, ada proses manipulasi data, khususnya statistik, yang sangat menonjol dan sistematis, seperti data soal angka kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Ketiga, seringkali terlihat lambat dalam merespon “situasi genting”, begitu banyak pertimbangan (soal image), dan tidak pemberani dalam mengambil-alih persoalan berat. Keempat, suka menyuap “mulut kaum yang lapar” dengan program belas kasihan yang sangat terbatas, tentative, dan tidak kontinyu, seperti membagi-bagikan kain sarung, beras, gula, minyak goreng dan lain sebagainya.
Pendek kata, karena politik pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka dengan mudah pun ia akan tersingkap. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari rakyat pun bisa menyingkapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By VungTauZ.Com