Breaking News

Sabtu, 28 Mei 2011

Pengemis Masih Mewabah Di Banda Aceh

Banda Aceh – Akhir-akhir ini di Kota Banda Aceh merupakan pusat ibu kotaa Provinsi Aceh sedang mewabah pengemis. Pengemis sangat mudah kita temukan di setiap sudut kota. Baik di setiap persimpangan/lampu merah maupun setiap warung-warung kopi. Untuk mengatasi penyakit sosial tersebut, Dinas Sosial Provinsi Aceh seharusnya menjadi pilar utama menertibkan gelandangan dan pengemis (Gepeng) itu. Namun peran ini dilakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Banda Aceh, sepertinya tak berhasil membersihkan Kota Banda Aceh itu dari serbuan para pengemis. Apalagi, upaya yang dilakukan hanya sebatas menangkap lalu memberi nasehat yang tak memberikan efek jera bagi pengemis yang umumnya datang dari sejumlah kabupaten dan kota dari Pantai Timur Aceh itu.

Petugas pemerintah terus merazia pengemis, namun tidak ada pembinaan dari pemerintah kepada pengemis, yang kentara terlihat petugas merazia pengemis seakan-akan mereka itu penjahat kelas kakap. Pemerintah tidak mempunyai jalan keluar untuk membina supaya bisa hidup normal.

Inilah potret kehidupan para pengemis di banda aceh semakin meresahkan warga, namun pemerintah hanya merazia mereka dan menangkap tanpa ada pembinaan. Yang tidak habis pikir, bahwa pengemis selalu dipulangkan dan “dibersihkan”, tapi juga tidak berapa lama sudah seperti semula. Hal ini, tentu harus dilihat apakah sebagai murni “kemauan” mereka sendiri, atau ada “nafsu” yang merasuki dan memberi semangat untuk menyuburkan kondisi ini.

Sekjend DPP PRA Thamren Ananda mengatakan “Pengemis di Aceh di sebabkan oleh beberapa faktor, tapi yang dominan disebabkan oleh tidak ada lapangan kerja. Seharusnya pemerintah lebih konsen dalam membuka lapangan kerja. Sehingga bisa menekan angka pengemis / pengangguran.

“Faktor kultur juga mempengaruhi, yaitu budaya malas dan cacat fisik, tapi keberadaan lapangan kerja sangat dominan mewabahnya pengemis di suatu daerah. Keberadaan pengemis di sebuah daerah menjadi cerminan masih rendahnya tingkat kesejahteraan. Uangkap Thamren Ananda yang juga mantan aktivis SMUR tahun 1998.

Warkop yang bertaburan di aceh yang disesaki oleh pengunjung juga menjadi tempat berkumpul kelas menangah keatas menjadi lahar subur bagi pengemis untuk beroperasi. Karena pengemis lebih memudahkan dalam meminta-minta, hal ini orang yang berkumpul di setiap warkop beragam kelas. Uang seharga seribu bagi mereka tidak ada nilainya, sehingga pengemis banyak memilih untuk bergerilya di setiap warkop.

Selain itu pengemis beroperasi di setiap lampu merah, hal ini sangat membahayakan jiwa pengemis maupun pengendara di jalan. Pengemis kerap berebutan untuk mendekati mobil-mobil mewah yang sedang singgah di lampu merah.

Yang sangat miris hati ketika menglihat Anak-anak di bawah umur juga ikut mengambil peran menjadi pengemis. Seharusnya anak-anak tersebut harus menimba ilmu pengetahuan, tetapi di korbankan menjadi pengemis / gepeng untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Inilah salah satu potret kemiskinan yang sedang melanda Aceh, sehingga anak-anak menjadi korban keganasan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada Rakyat.

Munculnya pengemis anak-anak menimbulkan prasangka negatif dari beberapa kalangan. Tidak masuk akal seorang anak-anak di bawah umur masih berani berkeliaran meminta-minta sampai menjelang pukul 22.00 Wib. Hal ini mengindikasikan ada orang di balik semua ini yang mengelolanya.

Hal ini seperti di ungkapakan oleh seorang pelanggan warung makan pak ulis di Lamnyong yang tidak mau disebut namanya “ saya menglihat ini ada orang yang berada di belakang pengemis, saya berkeyakinan ini pernah menglihat di warung makan pak Ulis di Lamnyong beberapa hari lalu seorang pengemis di antar dengan becak, lalu becak tersebut menunggu pengemis itu selesai beroperasi dari kejauhan”.

“Selanjutnya Anak-anak balita yang di gendong oleh nenek, tidak masuk akal seorang nenek masih memiliki seorang anak. Hal ini mengindikasikan ada pihak-pihak tertentu menggunakan anak balita, atau menyewakan anak tersebut untuk mencari sedekah.” Ungkapnya lagi.

Hal ini di perkuat oleh pernyataan Staf Save Emergency For Aceh (SEFA) yang konsen melakukan kajian kebijakan publik, Zulyadi Ulim “Pengemis ini kebanyakan datang dari luar kota dan saya yakin ada orang yang memobilisasi ke Banda Aceh. Hal ini sangat kentara terlihat di setiap warkop dan cafe, pengemis ada yang mengantarkan baik dengan becak maupun dengan sepeda motor. Ini biasa kita dapatkan di sekitar wilayah Ulee Kareng dan sekitarnya. Kalau mau lebih jelas silakan nongkrong di warung Purnama dekat dengan REK Peunyong.”Ujarnya.

Saya menduga, “ada oknum tertentu yang mempunyai kekuatan di Provinsi membekengi mereka untuk terus beroperasi. Kalau tidak, mana mungkin pengemis itu berani kembali setelah di razia oleh petugas. Dan setiap petugas merazia banyak pengemis lenyap begitu saja di tempat-tempat biasanya mereka beroperasi.” Ungkap aktivis SEFA tersebut.

Ada seorang pengemis malah dengan fisik yang kuat dan anak-nya yang sudah besar masih saja mengemis di setiap warkop. Nenek tersebut yang datang dari Kabupaten Pidie Kecamatan Delima. Nenek tersebut mengungkapkan dia datang dari kabupaten Pidie Kecamatan Delima sudah dua hari yang lalu, dan tinggal bersama anak sulungnya di Lam Ateuk Kec Kota Baro Kab Aceh besar. “saya datang sudah dua hari lalu dan tinggal di tempat anak sulung saya. Anak saya semua sudah besar dan sudah berkeluarga semua”. Uangkap Nek Ti tersebut.

Namun ada pengemis lainnya ‘Nyak Munah’ mengungkapkan : “Melakukan ini karena tidak ada pilihan lain, Walaupun saya di kejar-kejar oleh petugas, saya akan tetap melakukan ini demi keluarga saya di kampung

“saya pernah di tangkap oleh petugas, lalu saya di pulangkan ke kampung kembali tanpa ada pembinaan. Kalau pemerintah mau memberikan modal kepada saya, maka saya akan membuat usaha untuk menghidupkan keluarga saya. Sedangkan suami saya tidak punya pekerjaan tetap, dia hanya buruh kasar, sedangkan kebutuhan biaya sekolah anak saya tidak mencukupi kalau hanya mengandalkan pendapatan suami saya”. Pungkas Nyak Munah yang memiliki 4 anak sedang duduk di bangku sekolah di Kabupaten Aceh Utara”.

Dari sisi lain terbaca jelas bagaimana kita sendiri menempatkan gelandangan dan pengemis dalam sebuah lingkaran yang dilematis. Golongan gelandangan dan pengemis “dibenci” habis-habisan pada saat-saat tertentu (walau aksi nyata untuk menyelesaikan masalah pengemis dan gelandangan masih perlu dipertanyakan). Pada saat yang lain, golongan ini juga “disayang” habis-habisan, terutama ketika mengeluarkan komentar untuk mencibir eksekutif dan legislatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By VungTauZ.Com